13 June, 2012

Pertumbuhan Berkesinambungan

Ketika Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya, ia hanya seorang diri. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 23 tahun saat beliau melaksanakan hajjatul wada', kaum Muslim telah berjumlah sekitar 100 sampai 125 ribu orang dalam berbagai riwayat. Dengan jumlah penduduk dunia ketika itu sekitar 100 juta orang, maka rasio kaum Muslim terhadap penduduk dunia adalah 1 per 1000 orang.

Sekarang, sekitar 1500 tahun kemudian, jumlah kaum Muslim telah bertumbuh tanpa henti dan menjadi 1,5 milyar hingga 1,9 milyar. Bayangkanlah bagaimana rasio itu bertumbuh dari 1 per 1000 menjadi 1 per lima dalam kurun waktu 1500 tahun.

Islam sebagai agama bekerja dalam skala waktu sejarah, bukan dalam skala waktu individu atau umat. Ia terus akan bertumbuh hingga tak satu pun jengkal bumi yang tidak dijangkaunya dan tak satu pun manusia yang tidak mendengar nama Allah disebutkan. Pertumbuhan berkesinambungan adalah ciri utamanya.

Kesadaran akan waktu bukan saja menumbuhkan kemampuan berpikir sekuensial dan kesadaran akan efek akumulasi, tapi juga pada makna pertumbuhan sebagai cara mengukur kekuatan dan prospek dari sebuah ide atau kerja. Kekuatan substansial dari sebuah ide atau kerja selalu dapat diukur dari kemampuannya untuk bertumbuh secara berkesinambungan.

Berapa banyak ideologi dan gerakan dalam sejarah manusia yang lahir, tumbuh dan mekar lalu mati dalam kurun waktu yang singkat. Misalnya komunisme. Semula gegap gempita tentang komunisme sejak awal ia lahir sebagai sebuah ideologi hingga berkembang pesat dengan dukungan sebuah imperium besar tak sanggup membuatnya berumur lebih dari satu abad.

Umur ideologi dan gerakan, apapun bentuknya, selalu ditentukan oleh kekuatan substansialnya untuk bertumbuh secara berkesinambungan. Sebab ini menentukan dalam skala waktu apa ideologi dan gerakan itu bekerja. Ideologi dan gerakan yang tidak punya potensi pertumbuhan berkesinambungan biasanya hanya akan bekerja dalam skala waktu individu, atau paling jauh, dalam skala waktu komunitas.

Pertumbuhan berkesinambungan adalah alat ukur sejarah. Sebab hanya ideologi dan gerakan yang bekerja dalam skala waktu sejarah yang akan bisa bertumbuh secara berkesinambungan. Itu sebabnya mengapa Qur'an memberi ruang yang begitu luas untuk membicarakan sejarah; biar semua kita sadar bahwa hanya ketika kita bekerja dalam skala waktu sejarah kita punya peluang untuk bertumbuh tanpa henti. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 248] #1

 dari :
http://www.bersamadakwah.com/2011/04/pertumbuhan-berkesinambungan.html
Read more »

Inilah Alasan Ulama Palestina Tak Khawatir Anak Gaza Terlalaikan Bola

Hampir sepanjang tahun selalu ada perhelatan sepak bola yang menyita perhatian ratusan juta orang di dunia melalui layar kaca. Mulai dari piala dunia hingga piala eropa yang kini tengah berlangsung.

Di Gaza, Palestina, kejuaraan sepak bola seperti piala Eropa juga mengundang minat warga. Para pemain seperti Samir Nasri hingga Mesut Ozil juga dikenal oleh anak-anak Gaza. Namun, ulama Palestina Syeik Mahmoud mengaku tidak khawatir sepak bola melalaikan mereka dari Al-Qur'an karena Gaza telah memiliki metode mengantisipasinya.

“Menurut kami tidak perlu dikhawatirkan, Karena kami telah memiliki pendidikan yang terprogram dengan baik. Mulai dari SD, SMP, SMA kami berikan program menghafal Al Qur’an dan disetor setiap usai sholat maghrib. Kami sadar bahwa film-film, iklan-iklan, video klip dan semua itu akan menjauhkan anak–anak kami dari Al Qur’an khususnya. Tapi yang terjadi di Gaza, masjid–masjid kami selalu ramai oleh para pemuda dan anak–anak. Masjid–masjid kami adalah tempat menghafal Al Qur’an dan rumah-rumah kamipun tempat menghafal Al Qur’an,” jelas Syeikh Mahmoud yang juga dosen di Universitas Islam Gaza saat ditanya kelompok Jurnalis Islam Bersatu (JITU), seperti dirilis Hidayatullah, Rabu (13/6).

“Pada dasarnya hukum sepakbola itu mubah, dan anak–anak sudah kami didik mengenai managemen waktu. Mereka boleh bermain bola, tapi mereka tetap diajarkan mengenai kewajiban prioritas untuk belajar dan menghafal Al Quran. Mahmoud Sarsakz itu binaan saya sejak kecil. Ia seorang hafidz Qur’an. Setiap hari ia kuliah dan hobi bermain bola, sore dia melakukan muroja’ah Qur’an, pada malam hari ia ikut dalam piket bergilir menjaga perbatasan bersama para Mujahidin Palestina,” jelas ulama Palestina lainnya, Syeikh Hani Rafiq, disambut haru oleh para peserta silahturahim di kantor redaksi Majalah Suara Hidayatullah tersebut. [IK/Hdy] #1

sumber :
http://www.bersamadakwah.com/2012/06/inilah-alasan-ulama-palestina-tak.html
Read more »

TILAWAH YAUMIYAH (1 JUZ SEHARI)

“Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz satu hari, dan berusahalah agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” (Hasan Al – Banna dalam Majmuatur Rasail -Risalah Pergerakan-)
Saudaraku, sadarkah kita bahwa Al – Qur’an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi dakwah). Sehingga jika sehari saja kita jauh dari Al – Qur’an, berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut. Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah. Baik itu dari televisi, Koran, majalah, maupun yang lainnya, yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh dan minhaj. Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energy untuk berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahkan semangat beramal saleh dan hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan Al – Qur’an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).
Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang ditinggalkan.” (Q.S. Al Furqan ayat 30)
Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali). Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da’wah. Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini. Ketika kita melalikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya adalah dha’ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat Al – Qur’an seperti anggapan kita selama ini. Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi moralitas ta’abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan da’wah ini. Dari sini kita menjadi paham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entahlah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama ini komitmen dengan proses terbiyah, dengan seizing Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidakmampuan kita kita terhadap ibadah ini dengan berlindung dibawah waswas syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.
Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tidak pernah berakhir. Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas ‘ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun islam dimuka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al – Banna Rahimahullah begitu yakinya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca Al – Qur’an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seorang yang berkeringinan membangun masyarakat Islam. Dalam nasihatnya beliau mengatakan, “Wahai saudaraku yang jujur janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai’at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : “Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kebidupan jahiliyah kepada kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pih pahit selema proses tarbiyah, maka jika kita sudah berazam (bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta’abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut.
Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variarif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang kuat). Dalam hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan Al – Qur’an. Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap Al – Qur’an mengalami proses peningkatan. 

Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al – Qur’an dalam satu bulan”, maka bagitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal. Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai suatu yang maksimal. Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan (walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah). Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan Al – Qur’annya dalam waktu tiga hari sapai satu pecan. Kerena bagi mereka khatan sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya. Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan Al – Qur’an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari Al – Qur’an. Kalau saja tarbiyyah qur’aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara surat an-Nissa, al-Maidah dengan surat lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca an-Nissa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, hangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesunggunya kita mampu kalau kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyah ini.

Kiat Mujahada dalam bertilawah satu juz:1. Berusahalah melancarkan tilawah jika anda termasuk orang yang belum lancer bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30-40 menit. Jika lebih dari itu, anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu diatas, sangat logis untuk melakukan tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaimana kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa untuk 40 menit bersama televise, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.

2. Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini. Misalnya, bagi anggota halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada ‘iqob (hukuman) yang terkadang hilang ruh tarbawi-nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.

3. Lalukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan. Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di mesjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan sendiri, membangun tarbiyah qur’aniyyah didalam diri kita.

4. Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari kepada Allah yang memiliki Al – Qur’an ini. Pengaduan kita yang sering kepada Allah yang sering, insya’allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan dating pertolongan Allag yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.

5.Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan menglahirkan energy baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang laen jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah. Jika saat ini kita sering berbicara tentang ri’ayah maknawiyah (memperkaya jiwa), maka sesungguhnya Imam Syahid ini adalah cara me-ri’ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dan dimana saja, ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah Al – Qur’an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrulllah (pertolongan Allah), istiqomah, sabar dan lain sebagainya, Al – Qur’an tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta’abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini.

Kendala yang harus diwaspadai:1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca Al – Qur’an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali membaca Al – Qur’an.

2. Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca Al – Qur’an. Sehingga tidak termotivasi untuk bermujahadah dalam istiqomah membaca Al – Qur’an.

3. Tidak memiliki waktu wajib bersama Al – Qur’an dan terbiasa membaca Al – Qur’an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah Al – Qur’an.

4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah Al – Qur’an setiap hari. Materi do’a hanya berputar-putar pada kebutuhan dunia saja.

5. Terbawa oleh lingkungan disekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah Al – Qur’an ini. Rasulullah berabda, ”Kualitas dien seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya.”

6. Tidak tertarik terhadap majelis-majelis yang menghidupkan Al – Qur’an. Padahal menghidupkan majelis-majelis Al – Qur’an adalah cara yang direkomendasikan Rasulullah agar orang beriman memiiliki ghirah berinteraksi dengan Al – Qur’an.”

Akibat tidak serius menjalankannya:1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi Nampak berbagai macam prosuktifitas dakwah dan amal jihadi kita, namun dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jidah salafuffhalih saja tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunah bersiwak (gosok gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar dari itu? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan Al – Qur’an selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat Al-Anfaal dan al-Qitaal.

3. Terjauhnya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur’an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur’an kalau interaksi kita dengan Al – Qur’an sangat lemah? Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz saja?

4. Terjauhnya sebuha dakwah yang memiliki jawwul ‘ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas kelimuan umat yang sumber utamanya dari Al – Qur’an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan ke - Al – Qur’an-an akan sanagt berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah (keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalu saja setiap kader beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyyah.

5. Terjauhnya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab Majmu’atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa Indonesia dengan judul “Risalah Pergerakan”)! Anda akan dapat bigitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan Al – Qur’an. Tidakkah kita malu ber-intima’ (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita jauh dari manhaj-nya? Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi melaksanakan poin pertama dari pada wajibul akh (kewajiban aktiftis muslim) ini. Muhammad Perdana #1

kopas : 
http://halaqoh7.blogspot.com/2012/05/tilawah-yaumiyah-1-juz-sehari.html
Read more »

Uni Eropa Takut Turki Jadi Negara Islam

Perlahan tapi pasti, Turki semakin dekat dengan suasana "Islami." Sebaliknya, doktrin sekulerisme mulai tersisihkan di negara yang kini diperintah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu.

Selain tren jilbab yang tak terbendung, studi Al-Qur'an di sekolah umum mulai digalakkan di Turki.

Perubahan itu rupanya dipandang Uni Eropa sebagai hal yang mengkhawatirkan. Uni Eropa menuduh Ankara menggunakan kekuasaan untuk secara perlahan menyingkirkan sekularisme Turki. Diantaranya dengan memperkenalkan studi Al-Qur'an di sekolah umum.

Hal lain yang menjadi catatan Uni Eropa adalah upaya pemerintah Erdogan menurunkan batas usia anak-anak boleh masuk ke sekolah agama Islam serta rencana AKP untuk meluncurkan saluran televisi Islam dan proposal pembangunan tempat ibadah di ruang publik seperti teater dan opera.

Kepala Delegasi Uni Eropa, Jean Maurice Ripert mengatakan, perubahan yang dilakukan Turki tidak sesuai dengan semangat sekularisme negara yang dideklarasikan Mutafa Kemal Ataturk tersebut. “Sejumlah politisi membuat perbandingan yang tidak sesuai,” kata Ripert seperti dikutip Republika, Selasa (12/6) malam.

Awal Mei lalu hasil survei Yayasan Studi Ekonomi dan Sosial yang berbasis di Istanbul menunjukkan, 60 persen perempuan Turki telah mengenakan jilbab. Semarak jilbab itu juga diikuti dengan menjamurnya produk busana muslim di Turki.

Selain secara kultural, upaya "islamisasi" juga difasilitasi pemerintah dengan rencana mengaktifkan kembali Masjid Aya Sophia sebagai tempat ibadah umat Muslim dan mengajarkan Al-Qur'an di sekolah-sekolah umum, baru-baru ini. [AM/Rpb/bsb]

rujukan : 
http://www.bersamadakwah.com/2012/06/uni-eropa-takut-turki-jadi-negara-islam.html

Read more »

Inilah Isi Pidato KH Hasyim Muzadi yang Menghebohkan Itu

Baru-baru ini beredar pidato menghebohkan dari mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi melalui pesan berantai BlackBerry Messenger (BBM) dan media sosial.

Bagi umat Muslim yang komitmen dengan syariat Islam, pidato Hasyim Muzadi itu adalah pidato yang brilian dan patut mendapat acungan jempol. Namun, bagi kalangan liberal dan pihak-pihak yang “memusuhi” Islam, pidato itu dianggap “radikal.”


Seperti apa pidato yang menghebohkan itu? Berikut isi pidato Hasyim Muzadi yang juga Presiden WCRP
(World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) tentang tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia oleh Sidang PBB di Jeneva :

"Selaku Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.

Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah AHMADIYAH, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam.

Kalau yang jadi ukuran adalah GKI YASMIN Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional & dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai.

Kalau ukurannya PENDIRIAN GEREJA, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi.

Kalau ukurannya LADY GAGA & IRSHAD MANJI, bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan Intelektualisme Kosong ?

Kalau ukurannya HAM, lalu di Papua kenapa TNI / Polri / Imam Masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawiman Sejenis. Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis ?!

Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar (humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme". [JJ/Trb/yi] #1

copaz : 
http://www.bersamadakwah.com/2012/06/inilah-isi-pidato-kh-hasyim-muzadi-yang.html
Read more »

Shalahuddin vs Assasin

Shalahuddin Al Ayubi adalah pemimpin yang fenomenal. Ia adalah negarawan dan panglima perang yang bukan hanya dikagumi oleh umat Islam, tetapi juga dikagumi oleh lawan-lawannya, para ksatria Templar, termasuk Richard the Lion Heart. Sedangkan Assasin adalah kelompok rahasia dari sekte syiah hasaniyah yang gemar melakukan pembunuhan rahasia. Bagaimana jika keduanya bertemu? Itu pernah terjadi pada tanggal ini 836 tahun yang lalu.

22 Mei 1176. Assasin kembali melakukan percobaan pembunuhan atas Shalahuddin Al Ayubi. Assasin saat itu bahkan sudah menjangkau Shalahuddin. Mereka menembus langsung kamar tidur Shalahuddin saat ia terlelap. Assasin melukai Shalahuddin di kepalanya dengan belati. Itulah senjata andalah Assasin; belati indah untuk membunuh musuhnya dengan "seni" sekaligus nanti dipakai bunuh diri jika "tugas suci" itu telah tertunai. Assasin tidak suka lari setelah berhasil membunuh sasarannya. Mereka lebih suka bunuh diri.

Namun saat itu Assasin kembali gagal membunuh Shalahuddin Al Ayyubi. “Shalahuddin saat itu mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah surbannya,” tulis sejarawan Islam Tamim Ansary dalam bukunya, Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes.

Menjadi orang baik bukan berarti semua orang akan baik kepada kita. Menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana bukan berarti semua orang akan mendukung kita. Kisah percobaan pembunuhan terhadap Shalahuddin Al Ayubi yang dilakukan oleh Assasin mengingatkan kita.

Namun, Shalahuddin mengajari kita, bahwa seperti apapun bahaya mengancam, ia tak boleh menghalangi proyek kebajikan kita. Sehebat apapun rintangan menghadang, ia tak boleh menghentikan langkah kebaikan kita. Sebab kesudahan yang menanti orang-orang yang istiqamah dalam kebaikan adalah ridha Allah Azza wa Jalla. Sebab akhir yang menanti konsistensi kebajikan adalah surga. Bahkan di dunia, penyegeraan kabar gembira hampir selalu membersamai mereka; segera atau setelah ia tiada. Dan itu pula yang didapatkan Shalahuddin; ia dikenang dan dicintai oleh umat Islam, bahkan dikagumi orang nasrani. Sedangkan Assasin, mereka hancur 96 tahun kemudian dan dibenci hingga kini, bahkan oleh orang Syiah, di mana mereka menisbatkan diri.

Terkadang kita salah memaknai janji perlindungan Allah kepada orang beriman. Seperti firman-Nya pada surat Al Baqarah ayat 257: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman” atau surat Muhammad ayat 11: “sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.” Kita lalu berharap bahwa kita senantiasa dilindungi dari segala rintangan dan bahaya, kita menginginkan akan selalu kebal dari pembunuhan dan terluka. Jika ada yang menyabetkan pedang kepada kita, seketika ayunan pedang itu terhenti tepat satu cm dari kulit kita. Atau jika ada peluru yang datang ia akan terhenti tepat sebelum mengenai tubuh kita. Tidak. Perlindungan Allah tidak selalu bermakna seperti itu.

Bahkan, tiga dari empat khulafa'ur rasyidin meninggal dibunuh. Umar bin Khatab dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak Majusi keturunan Yahudi. Utsman bin Affan dibunuh pemberontak yang terhasut oleh Abdullah bin Saba', tokoh Yahudi. Dan Ali bin Abu Thalib dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Mereka semua syahid, dan perlindungan Allah kepada mereka bukanlah dalam bentuk mencegah mereka syahid. Bahkan syahid itulah perlindungan Allah. Itulah sebaik-baik akhir kehidupan orang beriman yang sepanjang hidupnya menorehkan kebaikan dan kebajikan.

“Syahid fi sabilillah al asma amanina,” Hasan Al Banna menjadikan kaidah itu sebagai salah satu kredo perjuangannya. Dan ia pun mendapati hal yang sama; syahid, oleh peluru-peluru durjana yang menembus dadanya. [Muchlisin] #1

lihat : 
http://www.bersamadakwah.com/2012/05/shalahuddin-vs-assasin.html
Read more »

05 June, 2012

Muslim Pembelajar | Tentang Waktu dan Cinta Ilmu


Ketika seorang manusia sudah menyematkan dan mengikrarkan “Islam” dalam hatinya, maka sungguh seharusnya tidak ada lagi keraguan baginya untuk terus memperjuangkan Dien Allah tersebut dalam setiap lini kehidupannya. Seorang Muslim sejati, pada awalnya ia akan mencoba untuk memahami akar sejarahnya, akar sejarah peradaban Islam ketika Nabi Muhammad datang membawa cahaya yang mengubah “barbarnya” bangsa Arab saat itu menjadi bangsa yang diakui sebagai peradaban paling maju di dunia.

Di kala Barat sedang berada dalam masa paling gelap dalam sejarahnya.Peradaban Islam hadir menjadi Cahaya yang menerangi hampir 2/3 dunia. Semua bangsa tunduk di bawah kekhalifahan Islam selama hampir 8 Abad. “Panji Islam menguasai dunia”, kalimat tersebut nampaknya sangat pantas menggambarkan kondisi Islam saat itu. Baghdad dan Andalusia merupakan 2 kota yang boleh dibilang menjadi “centre of witness” dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi Islam. Munculnya tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Al Khawarizmi, dan intelektual muslim lainnya membuat begitu banyak bangsa yang berduyun-duyun datang ke kota tersebut untuk belajar tentang ilmu pengetahuan. Pada waktu itu Ilmu Pengetahuan memang menjadi sumber utama Peradaban Islam diakui oleh dunia, kehadiran ilmu pengetahuan Islam bagaikan oase di sebuah padang pasir yang sangat luas. 

Mari kita refleksikan sejarah Islam lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan karya-karya monumental yang sampai saat ini masih kita rasakan kebermanfaatannya. Kepeloporan dari ilmuwan muslim zaman dahulu telah memberikan “multiple effect” yang luar biasa membekas dari generasi ke generasi, bahkan kalau kita tinjau lebih dalam lagi kita akan menemukan bahwasanya peradaban Barat yang “konon” dikatakan sebagai peradaban paling maju saat ini ternyata berawal dari adopsi mereka terhadap ilmu-ilmu hasil karya peradaban Islam.

Tidak dipungkiri lagi bahwa karya-karya ulama dan ilmuwan Islam telah menjadi “starting point” bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan, meskipun kita lebih sering mendengar karya-karya ilmuwan Barat yang menghiasi tradisi ilmiah kita. Hal tersebut dikarenakan ketika peradaban barat berkuasa, mereka menutupi sejarah bahwa sebenarnya ilmu mereka banyak terinspirasi dari karya ilmuwan muslim. Terbukti bahwasanya karya-karya yang diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Latin jauh lebih banyak daripada karya dari Bahasa Yunani ke Latin. Fakta tersebut tidak pernah diakui oleh Barat, mereka melakukan klaim yang sangat jelas bahwa karya-karya pemikir dan ulama Islam menjadi teori milik mereka yang kita ketahui bahwa hal tersebut sangat melanggar etika ilmiah. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan nama ilmuwan muslim kurang dikenal dalam sejarah ilmu pengetahuan modern.

Tinta Emas Peradaban

Dewasa ini Ilmu Pengetahuan sudah mengalami perkembangan yang sangat eksponensial, hal tersebut justru menjadi suatu tantangan berat bagi umat Islam agar bisa menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam seperti yang telah dipelopori oleh intelektual Muslim dahulu. Sebagai seorang Muslim, kita harus cerdas dalam belajar dan memahami akar sejarah ilmu pengetahuan yang berawal dari karya2 ilmuwan muslim. Sampai saat ini, Prof. Mulyadhi Kartanegara bersama dengan lembaganya yaitu CIPSI (Center for Islamic philosophical studies and information) telah berhasil menginventarisasi lebih dari 756 tokoh ilmuwan Muslim terkemuka yang memiliki konstribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang sains dan pemikiran filsafat. Hal tersebut menunjukkan betapa banyaknya pemikir-pemikir Islam yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan.

Kita Bisa melihat kemajuan ilmu kedokteran saat ini dimana sebuah benda kecil yang bernama pil mampu menyembuhkan orang sakit dalam waktu yang cukup singkat, serta seluruh ilmu-ilmu modern tentang bakteri, virus, dan tubuh manusia. Ilmu tersebut awalnya dikembangkan oleh seorang Ilmuwan Muslim bernama Ibnu Sina. Dokter Persia yang hidup seribu tahun yang lalu ini memiliki ketajaman pemikiran luar biasa sehingga mampu menjelajah masuk ke dalam kompleksitas sistem tubuh manusia. Beliaulah yang menjadi pelopor sehingga saat ini kita bisa merasakan manfaat dari ilmu kedokteran tersebut.

Dalam Bidang Astronomi, dikenal juga ilmuwan muslim bernama Ibnu Qatir yang pemikirannya sudah menjelajah jauh ke luar angkasa.Beliau mempelajari gerak melingkar planet merkurius mengelilingi matahari. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan menjadi inspirasi Ilmuwan astronomi di barat.Konon diceritakan juga bahwa karya dan persamaan matematikanya sangat mempengaruhi teori Nicolaus Copernicus. 

Ilmu Matematika modern saat ini pun juga dicikal-bakali oleh pemikiran tokoh Ilmuwan Muslim yang bernama Al Khawarizmi. Beliau menulis sebuah karya besar yang berjudul Kitab Al-Jabr wa Muqabilah (Buku tentang Integrasi dan Persamaan) atau yang berisi pengembangannya pada rumus-rumus persamaan linear dan kuadrat juga kalkulasi integral.Karya-karya beliau banyak dipelajari oleh ilmuwan barat seperti Fibonacci.

Begitu pula dalam ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sejarah, ilmuwan muslim pun tidak kalah hebat dengan ilmuwan barat. Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali merupakan seorang filsuf besar yang pemikirannya sangat mempengaruhi pemikiran Barat. Ibnu Khaldun juga disebut-sebut sebagai sejarawan terbesar di dunia. Ia menulis sejarah dengan analisis yang sangat cerdas, kitabnya yang paling terkenal adalah Muqaddimah yang nantinya diterjemahkan secara luas di Eropa sebagai Prologomena.

Selain orang-orang tersebut, masih sangat banyak ilmuwan muslim yang pada zaman peradaban islam membuahkan karya-karya unggul, menorehkan tinta emas dalam kanvas peradaban dan memiliki cita-cita bahwa ilmunya akan dikembangkan jauh lebih maju oleh generasi-generasi muslim selanjutnya. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah, “Bagaimanakah cara Umat Islam saat ini agar mampu meneruskan tradisi keilmuan yang sudah mereka wariskan?”. Jawabannya barangkali sederhana, Kita harus memiliki “Tradisi Pembelajaran Muslim” yang wajib kita implementasikan dalam setiap perjalanan kita.

Tradisi Pembelajaran Muslim, Tentang Waktu dan Cinta Ilmu

“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya” (Q.S. Al-Insyiqaq : 16-17)

“Demi Masa” (Q.S. Al-Asr : 1); 

“Demi Fajar” (Q.S. Al-Fajr : 1); 

“Demi Malam” (Q.S.Al-Lail : 1)

Tidakkah kita telah melihat bagaimana Allah SWT dengan sangat jelas menyampaikan dalam Al-Qur’an tentang sumpah-Nya akan waktu, seperti ayat-ayat diatas. Sudah sepatutnya kemudian kita berpikir, dan tidak perlu mempertanyakan lagi akan pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. Waktu merupakan anugerah Allah SWT yang tidak ternilai harganya, bukan hanya dari segi duniawi saja tetapi waktu juga memiliki nilai ukhrawi. Di akhirat nanti, kita akan mempertanggungjawabkan tentang apa saja yang sudah dilakukan selama waktu hidup kita di dunia. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Tidaklah mata kaki seorang hamba di hari kiamat tergelincir sehingga akan ditanya umur yang dihabiskannya, ilmunya yang telah diamalkannya, hartanya dimana ia perolehnya dan kemana diinfakkannya, dan masa mudanya kemana ia pergunakannya”. 

“Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha’haa qath’aka” — Waktu laksana pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan menebasmu (Pepatah Arab). Mari kita cermati bagaimana konsep waktu ini dipahami oleh Ilmuwan Muslim dulu sehingga lukisan karya mereka bisa mewarnai peradaban dunia. Imam Bukhari yang saat ini kita kenal dengan kitabnya Shahih Bukhari Muslim, telah menghabiskan seluruh waktunya untuk menghafal sekitar 100 ribu hadits. Ibnu Mas’ud, Sahabat Nabi yang dalam sejarah telah berhasil membunuh Abu Jahal dan dijuluki oleh nabi sebagai Pemuda Terdidik pernah mengatakan “Aku belum pernah menyesali sesuatu seperti halnya aku menyesali tenggelamnya matahari, dimana usiaku berkurang namun amal perbuatanku juga tak kunjung bertambah”. The Great Philosopher, Ibnu Rusyd atau yang lebih dikenal dengan sebutan Averroes juga selama hidupnya menghabiskan waktu untuk terus belajar dan berkarya. Konon hanya dua malam yang tidak ia gunakan untuk belajar yaitu saat malam pernikahannya dan malam meninggal ayahnya. Demikianlah contoh sekelumit tokoh-tokoh peradaban islam dalam memahami waktu, sebagaimana diajarkan di dalam ajaran Islam.

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Alloh akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Alloh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Mujadalah 11)
Selain waktu, satu hal yang perlu kita cermati lagi sebagai seorang muslim adalah kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Apa rahasia peradaban-peradaban dunia mengalami kemajuan yang luar biasa? Kita melihat kembali sejarah peradaban Islam semenjak kekuasaan dinasti abbasiyah, saat itu umat Islam berhasil melakukan proses penyerapan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Ditemukannya Kertas di Cina saat itu mengakibatkan ilmu pengetahuan terhebat dari seluruh dunia dapat diduplikasi dan bisa didapatkan dengan mudah. The Golden Age Of Science, merupakan masa dimana Ilmu Islam mencapai puncak kegemilangannya. Masa itu berada saat Kekhalifahan Harun Al Rasyid dan Al-Ma’mun. Kedua Khalifah tersebut sangatlah mencintai ilmu pengetahuan, Harus Al Rasyid adalah seorang intelektual dan pembelajar sejati yang selalu haus akan ilmu. Dialah yang memepelopori untuk memajukan pendidikan, mendirikan perpustakaan, pusat-pusat kajian ilmu dan memberikan penghargaan yang luar biasa kepada ilmuwan di zamannya. Pada zamannya kaum intelektual merupakan kamu yang paling dihormati di seluruh negeri.

Puncak peradaban Islam dalam bidang sains kemudian dapat dilihat pada zaman khalifah Al-Ma’mun. Beliau berusaha membuka akses yang seluas-luasnya agar ilmu pengetahuan dari seluruh dunia bisa dipelajari oleh ummat Islam. Beliau mengirimkan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya untuk belajar ke pusat-pusat pengetahuan dunia, beliau juga membeli ribuan buku terbaik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab. Buku-buku tersebut selanjutnya dipelajari oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, sehingga tradisi keilmuan Islam benar sangatlah terasa pada zaman khalifah Al-Ma’mun. Khalifah Al-Ma’mun berhasil menunjukkan bahwa buku dan ilmu pengetahuan sama berharganya dengan kemenangan dalam sebuah peperangan. Tak heran, tokoh-tokoh peradaban Islam lahir ketika zaman beliau seperti Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Haitham, Ibnu Battuta, Ibnu Rusyd, dll.

Rasululah SAW bersabda, “Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang-bintang di langit, satu bab dari ilmu yang dipelajari seseorang adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya, sehingga menuntut ilmu menjadi wajib atas tiap-tiap muslim; menghadiri majelis orang-orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat seribu raka’at, mengunjungi seribu orang sakit dan berta’ziah seribu jenazah; barangsiapa wafat seseorang yang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, antara dia dengan Nabi-nabi di dalam surga jaraknya hanya satu tingkat.”

Sudah seyogyanya saat ini kita, sebagai umat muslim perlu merefleksikan kembali kerya-karya peradaban pendahulu-pendahulu kita. Kemudian merancang kembali akan peran kita dalam melukis dan mewujudkan kembali peradaban Islam. Keteladanan ilmuwan muslim terdahulu akan berharganya waktu dan kecintaannya terhadap ilmu nampaknya cukup untuk membuat kita sadar dan berpikir, apa yang kemudian akan kita lakukan?

Menghidupkan kembali Tradisi Keilmuan Islam memang bukan pekerjaan mudah, dibutuhkan aktor-aktor yang siap mengorbankan waktunya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Sejarah teleh mencatat, bahwasanya tumbuhnya peradaban berawal dari tumbuhnya tradisi keilmuan karena substansi sebuah peradaban adalah ilmu pengetahuan. Konsep waktu dan cinta ilmu merupakan dua variabel penting yang sudah seyogyanya umat muslim sekarang pahami dan terapkan dalam kehidupan, agar tidak menjadi orang-orang yang merugi. Secara sederhana, untuk meneruskan cita-cita peradaban islam mari kita dedikasikan seluruh harga waktu yang sudah diberikan Allah SWT untuk senantiasa meningkatkan kembali rasa cinta kita kepada ilmu pengetahuan. Apakah kita siap?

Saya akan menjawab, “Saya Siap”.

Karena Allah telah menjanjikan “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (QS. Al Fath : 1). 
Oleh :  Ardian Fajar Prastyawan
Mahasiswa Institute Teknologi Bandung dan Koordinator PMLDK (Pelatihan Manajemen Lembaga Dakwah Kampus) FSLDK Indonesia



Sumber: http://www.islamedia.web.id/2012/06/muslim-pembelajar-tentang-waktu-dan.html #4
Read more »

03 June, 2012

PKS Usulkan TKI Luar Negeri Bebas Biaya Asuransi & Paspor


Jakarta (29/5) - Fraksi PKS menyampaikan perlunya Negara memberikan asuransi gratis bagi calon pekerja yang kurang mampu. Hal ini karena pekerja yang kurang mampu tersebut mayoritas memiliki penghasilan yang rendah, sehingga akan memberatkan apabila harus membayar premi asuransi.

Demikian disampaikan Anggota Komisi IX DPR Indra SH saat membacakan pandangan Fraksi PKS terkait pengesahan RUU Tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri, di Ruang Baleg DPR RI, Selasa (29/5).Untuk itu, Fraksi PKS mengusulkan perubahan redaksi Pasal 53 dalam RUU tersebut, dengan menghilangkan kewajiban bagi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri untuk menanggung biaya Asuransi/Jaminan Sosial. “Dibalik tingginya biaya untuk menjadi TKI calon pekerja, mereka menjual harta benda, tanah, ternak dan bahkan berhutang,” ujar Indra.Selain itu, Fraksi PKS juga mengusulkan khusus untuk pekerja sektor domestik,  Negara harus menanggung biaya pembuatan paspor dengan memperhatikan peraturan tentang keimigrasian yang berlaku. Dalam surat Keputusan Ditjen Imigrasi pada Departemen Hukum dan HAM nomor IMI2.UM.01.01.1-18 tertanggal 11 Januari 2010 diatur bahwa pekerja Indonesia di luar negeri adalah gratis dapat memperoleh paspor 24 halaman secara gratis. Apabila pekerja menginginkan paspor 48 halaman maka biaya yang timbul ditanggung pekerja sendiri.Terakhir, Fraksi PKS memandang bahwa proses kepulangan pekerja luar negeri ke daerah asal perlu mendapat pengawasan ketat oleh pemerintah. Hal tersebut khususnya bagi pekerja Indonesia di luar negeri yang bekerja di sektor domestik dan/atau yang berpengetahuan minim, sering “dimanfaatkan” oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. “Namun demikian, pekerja tersebut tetap diberi kebebasan untuk memilih sendiri cara pulang menuju daerah asalnya,” kata Indra.Pandangan Fraksi PKS ini, menurut Indra, disampaikan dalam rangka memenuhi hak warga negara Indonesia tersebut, maka negara wajib menjamin hak, kesempatan dan memberikan perlindungan bagi setiap warga Negaranya baik di dalam maupun di luar negeri tanpa diskriminasi. “Sebagai pahlawan devisa Negara, maka calon pekerja atau pekerja Indonesia diluar negeri perlu mendapat perlindungan yang optimal dan mendasar, sehingga pembaharuan RUU dengan konsep yang mutakhir sangatlah penting,”
Read more »

 

PKS TV Sudan