Shalahuddin Al Ayubi adalah pemimpin yang fenomenal. Ia adalah negarawan
dan panglima perang yang bukan hanya dikagumi oleh umat Islam, tetapi
juga dikagumi oleh lawan-lawannya, para ksatria Templar, termasuk
Richard the Lion Heart. Sedangkan Assasin adalah kelompok rahasia
dari sekte syiah hasaniyah yang gemar melakukan pembunuhan rahasia.
Bagaimana jika keduanya bertemu? Itu pernah terjadi pada tanggal ini 836
tahun yang lalu.
22 Mei 1176. Assasin kembali melakukan percobaan pembunuhan atas Shalahuddin Al Ayubi. Assasin saat itu bahkan sudah menjangkau Shalahuddin. Mereka menembus langsung kamar tidur Shalahuddin saat ia terlelap. Assasin melukai Shalahuddin di kepalanya dengan belati. Itulah senjata andalah Assasin; belati indah untuk membunuh musuhnya dengan "seni" sekaligus nanti dipakai bunuh diri jika "tugas suci" itu telah tertunai. Assasin tidak suka lari setelah berhasil membunuh sasarannya. Mereka lebih suka bunuh diri.
Namun saat itu Assasin kembali gagal membunuh Shalahuddin Al Ayyubi. “Shalahuddin saat itu mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah surbannya,” tulis sejarawan Islam Tamim Ansary dalam bukunya, Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes.
Menjadi orang baik bukan berarti semua orang akan baik kepada kita. Menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana bukan berarti semua orang akan mendukung kita. Kisah percobaan pembunuhan terhadap Shalahuddin Al Ayubi yang dilakukan oleh Assasin mengingatkan kita.
Namun, Shalahuddin mengajari kita, bahwa seperti apapun bahaya mengancam, ia tak boleh menghalangi proyek kebajikan kita. Sehebat apapun rintangan menghadang, ia tak boleh menghentikan langkah kebaikan kita. Sebab kesudahan yang menanti orang-orang yang istiqamah dalam kebaikan adalah ridha Allah Azza wa Jalla. Sebab akhir yang menanti konsistensi kebajikan adalah surga. Bahkan di dunia, penyegeraan kabar gembira hampir selalu membersamai mereka; segera atau setelah ia tiada. Dan itu pula yang didapatkan Shalahuddin; ia dikenang dan dicintai oleh umat Islam, bahkan dikagumi orang nasrani. Sedangkan Assasin, mereka hancur 96 tahun kemudian dan dibenci hingga kini, bahkan oleh orang Syiah, di mana mereka menisbatkan diri.
Terkadang kita salah memaknai janji perlindungan Allah kepada orang beriman. Seperti firman-Nya pada surat Al Baqarah ayat 257: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman” atau surat Muhammad ayat 11: “sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.” Kita lalu berharap bahwa kita senantiasa dilindungi dari segala rintangan dan bahaya, kita menginginkan akan selalu kebal dari pembunuhan dan terluka. Jika ada yang menyabetkan pedang kepada kita, seketika ayunan pedang itu terhenti tepat satu cm dari kulit kita. Atau jika ada peluru yang datang ia akan terhenti tepat sebelum mengenai tubuh kita. Tidak. Perlindungan Allah tidak selalu bermakna seperti itu.
Bahkan, tiga dari empat khulafa'ur rasyidin meninggal dibunuh. Umar bin Khatab dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak Majusi keturunan Yahudi. Utsman bin Affan dibunuh pemberontak yang terhasut oleh Abdullah bin Saba', tokoh Yahudi. Dan Ali bin Abu Thalib dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Mereka semua syahid, dan perlindungan Allah kepada mereka bukanlah dalam bentuk mencegah mereka syahid. Bahkan syahid itulah perlindungan Allah. Itulah sebaik-baik akhir kehidupan orang beriman yang sepanjang hidupnya menorehkan kebaikan dan kebajikan.
“Syahid fi sabilillah al asma amanina,” Hasan Al Banna menjadikan kaidah itu sebagai salah satu kredo perjuangannya. Dan ia pun mendapati hal yang sama; syahid, oleh peluru-peluru durjana yang menembus dadanya. [Muchlisin] #1
22 Mei 1176. Assasin kembali melakukan percobaan pembunuhan atas Shalahuddin Al Ayubi. Assasin saat itu bahkan sudah menjangkau Shalahuddin. Mereka menembus langsung kamar tidur Shalahuddin saat ia terlelap. Assasin melukai Shalahuddin di kepalanya dengan belati. Itulah senjata andalah Assasin; belati indah untuk membunuh musuhnya dengan "seni" sekaligus nanti dipakai bunuh diri jika "tugas suci" itu telah tertunai. Assasin tidak suka lari setelah berhasil membunuh sasarannya. Mereka lebih suka bunuh diri.
Namun saat itu Assasin kembali gagal membunuh Shalahuddin Al Ayyubi. “Shalahuddin saat itu mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah surbannya,” tulis sejarawan Islam Tamim Ansary dalam bukunya, Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes.
Menjadi orang baik bukan berarti semua orang akan baik kepada kita. Menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana bukan berarti semua orang akan mendukung kita. Kisah percobaan pembunuhan terhadap Shalahuddin Al Ayubi yang dilakukan oleh Assasin mengingatkan kita.
Namun, Shalahuddin mengajari kita, bahwa seperti apapun bahaya mengancam, ia tak boleh menghalangi proyek kebajikan kita. Sehebat apapun rintangan menghadang, ia tak boleh menghentikan langkah kebaikan kita. Sebab kesudahan yang menanti orang-orang yang istiqamah dalam kebaikan adalah ridha Allah Azza wa Jalla. Sebab akhir yang menanti konsistensi kebajikan adalah surga. Bahkan di dunia, penyegeraan kabar gembira hampir selalu membersamai mereka; segera atau setelah ia tiada. Dan itu pula yang didapatkan Shalahuddin; ia dikenang dan dicintai oleh umat Islam, bahkan dikagumi orang nasrani. Sedangkan Assasin, mereka hancur 96 tahun kemudian dan dibenci hingga kini, bahkan oleh orang Syiah, di mana mereka menisbatkan diri.
Terkadang kita salah memaknai janji perlindungan Allah kepada orang beriman. Seperti firman-Nya pada surat Al Baqarah ayat 257: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman” atau surat Muhammad ayat 11: “sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.” Kita lalu berharap bahwa kita senantiasa dilindungi dari segala rintangan dan bahaya, kita menginginkan akan selalu kebal dari pembunuhan dan terluka. Jika ada yang menyabetkan pedang kepada kita, seketika ayunan pedang itu terhenti tepat satu cm dari kulit kita. Atau jika ada peluru yang datang ia akan terhenti tepat sebelum mengenai tubuh kita. Tidak. Perlindungan Allah tidak selalu bermakna seperti itu.
Bahkan, tiga dari empat khulafa'ur rasyidin meninggal dibunuh. Umar bin Khatab dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak Majusi keturunan Yahudi. Utsman bin Affan dibunuh pemberontak yang terhasut oleh Abdullah bin Saba', tokoh Yahudi. Dan Ali bin Abu Thalib dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Mereka semua syahid, dan perlindungan Allah kepada mereka bukanlah dalam bentuk mencegah mereka syahid. Bahkan syahid itulah perlindungan Allah. Itulah sebaik-baik akhir kehidupan orang beriman yang sepanjang hidupnya menorehkan kebaikan dan kebajikan.
“Syahid fi sabilillah al asma amanina,” Hasan Al Banna menjadikan kaidah itu sebagai salah satu kredo perjuangannya. Dan ia pun mendapati hal yang sama; syahid, oleh peluru-peluru durjana yang menembus dadanya. [Muchlisin] #1
lihat :
http://www.bersamadakwah.com/2012/05/shalahuddin-vs-assasin.html
0 komentar:
Post a Comment