Oleh: Reza Ageung S.
TUMPAHNYA
ribuan Muslim pada Jumat (09/03/12) lalu di Bundaran Hotel Indonesia
(HI)-Jakarta yang mengusung slogan “Indonesia Damai Tanpa JIL” memberi
isyarat yang jelas bahwa perlawanan terhadap fikrah terhadap kelompok
Islam Liberal dari ormas Islam bukanlah pepesan kosong.
Sebenarnya, arus opini anti-JIL (Jaringan Islam Liberal) dan
anti-liberal ini menemukan momen yang pas, setelah dilakukan pemanasan
sebelumnya di area publik, terutama di dunia maya. Youtube, Facebook,
Twitter. Penolakan kalangan Muslim terhadap berbagai tindakan, gagasan,
ide dan pemikiran kelompok liberal ini akhirnya menemuman momen, ketika
sebelumnya, kalangan berpaham liberal mengadakan aksi “Indonesia Tanpa
FPI” yang mengerahkan kelompok homo, lesbi dan waria.
Hanya saja, pertanyaan berikutnya pasca penggalangan opini anti-JIL
ini adalah; “Apa yang harus dilakukan umat Islam selanjutnya? Apakah
semangat anti-JIL hanya menjadi luapan emosional sesaat dalam demo
jalanan semata, lalu usai begitu saja setelah itu?
Jika JIL dengan paham liberalis nya sebuah tantangan nyata, maka tindakan untuk menghadapinya haruslah tindakan nyata pula. Namun, tindakan nyata ini juga tidak dapat dilakukan jika kita tidak memahami konsekuensi dari perlawanan kita terhadap liberalisme.
Jika JIL dengan paham liberalis nya sebuah tantangan nyata, maka tindakan untuk menghadapinya haruslah tindakan nyata pula. Namun, tindakan nyata ini juga tidak dapat dilakukan jika kita tidak memahami konsekuensi dari perlawanan kita terhadap liberalisme.
Konsekunsi pertama adalah konsekuensi intelektual. Liberalisme bukan
hanya soal kebebasan an sich, namun juga soal destruktifikasi ajaran
Islam. Hal ini dimulai dari penafsiran ulang sumber utama pemikiran
Islam, al-Qur’an. Kalangan liberal—yang bukan hanya di Nusantara,
menyusun ulang tafsir Qur’an lewat metode yang mereka sebut
hermeneutika. Mohammad Arkoun adalah salah satu tokoh Islam Liberal
dunia yang berdiri di garis depan dalam hal ini. Sebagaimana dapat kita
baca dalam buku “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” (Adian Husaini &
Abdurrahman al-Baghdadi), tafsir hermeneutika bukanlah tafsir yang
berasal dari para ulama, standar tafsirnya bukanlah aqidah Islam,
melainkan nilai-nilai Barat.
Jadi, dengan tafsir ini, Qur’an dipaksa manut pada ide-ide Barat.
Maka jangan heran jika “tafsir” mereka “ijtihad” mereka cenderung
membenarkan ide pluralisme, feminisme dan sekulerisme yang notabene
menjadi “ajaran-ajaran suci” dari peradaban Barat. Ini tidak termasuk
gagasan dan ide-ide liberalnya yang sering “dipaksakan” kepada
masyarakat Muslim.
Apa yang sesungguhnya dilakukan kelompok JIL melakukan aksi demo
“Indonesia Tanpa FPI” di bundaran HI, hanyalah permen (alias pemanis)
saja. Karena sesungguhnya bukan itu kerja utamanya. Kerja-kerja utama
mereka jauh lebih penting yang tidak terlihat sorot kamera dan mata
public. Merancang kurikulum, mendesak undang-undang dan mempengaruhi
kebijakan politik.
Oleh karenanya, dalam hal ini para intelektual Muslim punya dua
tugas. Pertama, mereka harus membentengi umat dari model tafsir ini
dengan menjelaskan kekeliruannya, dan yang kedua mereka harus kerja
keras dalam mereaktualisasi tafsir Qur’an—tentunya dengan metode yang
benar—agar dapat menjawab realitas kekinian. Hal ini untuk mengisi
kekosongan tafsir al-Qur’an yang hendak direbut oleh kaum liberal.
Memang, menghadapi aliran heremeneutika dan derivatnya sama saja
menghadapi sekte baru karena pada hakikatnya, dengan menafsir ulang
Qur’an dan sumber-sumber dasar ajaran Islam dengan standar ide-ide
kufur, kaum liberal sedang mengacak-acak agama Islam, bahkan cenderung
membuat semacam “agama” baru.
Konsekuensi kedua adalah konsekuensi politis. Monster liberalisme
memiliki wujud nyata bukan hanya ranah pemikiran, melainkan juga
realitas politik saat ini, yakni demokrasi. Abdul Qadim Zallum dalam
bukunya “Ad-Dimuqratiyah Nizhamul Kufr” (Edisi terjemahan : “Demokrasi Sistem Kufur”) mendefinisikan
demokrasi sebagai sistem yang bertumpu pada empat pilar ide kebebasan
(liberalisme) : kebebasan berpikir, kebebasan berperilaku, kebebasan
berakidah, dan kebebasan kepemilikan. Jelas jenis kebebasan pertama
adalah akar dari liberalisme yang selama ini diusung JIL, dari kebebasan
berpikir lahirlah tafsir liberal hemeneutika. Kebebasan jenis kedua
adalah akibat langsung dari yang pertama.
Kebebasan jenis ketiga sering disebut pluralisme, dan yang keempat adalah kapitalisme.
Meskipun seolah kapitalisme terpisah dari bangunan pemikiran JIL, namun keempat jenis kebebasan tersebut berakar dari asas yang sama, yaitu paham sekulerisme, di mana sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum pada otak manusia—bukan wahyu—menjaga agar isme tersebut tetap eksis dalam tataran legal formal.
Meskipun seolah kapitalisme terpisah dari bangunan pemikiran JIL, namun keempat jenis kebebasan tersebut berakar dari asas yang sama, yaitu paham sekulerisme, di mana sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum pada otak manusia—bukan wahyu—menjaga agar isme tersebut tetap eksis dalam tataran legal formal.
Baru-baru ini ditengarai, kalangan liberal “ikut nimbrung” dibalik
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender
juga Rancangan Undang Undang tentang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB).
Belum lagi gerilya mereka di kampus-kampus perguruan tinggi Islam.
Seperti dimaklumi, banyak dosen di IAIN/UIN lulusan dari Barat yang
pulang dengan membawa Islam versi liberal. Bisa dibayangkan, berapa ribu
tiap tahun sarjana Islam diluluskan dari dosen-dosen berpikiran
liberal?
Reposisi Peran Ulama
Memahami siapa dan apa yang kita hadapi dalam perlawanan melawan
liberalisme menyeret kita pada sebuah perundingan untuk mereposisi peran
ulama dan juga intelektual muslim. Konsekuensi pertama yang dipaparkan
di atas memberi tuntutan pada para ulama dan intelektual muslim untuk
melakukan tajdid (pembaharuan) atas ajaran Islam. Namun pengertian
tajdid di sini tidak boleh terjebak pada pengertian yang diberikan oleh
kaum liberal, yang lebih dekat kepada perombakan dan penyimpangan.
Sebagaimana digagas Naquib al-Attas, tajdid haruslah dimaknai
pembaruan dari yang ada sekarang menjadi kembali mendekati versi
aslinya. Dengan kata lain, tajdid berarti kembali kepada Islam yang
sesuai dengan ajaran Rasul , pemahaman para shahabat dan salafus shaleh.
Tajdid juga berarti mengoptimalkan kembali ijtihad agar Islam kembali
aktual menghadapi tantangan zaman. Ijtihad yang dimaksud bukanlah hanya
ijtihad untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul hari ini,
namun juga menghadapi masa depan. Dengan demikian, Islam menjadi “baru”
kembali dalam konteks permasalahan kontemporer.
Sedangkan konsekuensi kedua, yakni konsekuensi politis, membawa kita
pada pertarungan intelektual yang berat. Mau tidak mau, para ulama dan
intelektual muslim harus meluaskan ruang lingkup kerjanya ke area
ideologis-politis. Ijtihad di bidang-bidang semacam harus dimulai dan
dikembangkan. Para ulama dan intelektual muslim harus mampu membuktikan
bahwa umat Islam dapat lepas dari wordlview Barat, bukan hanya dalam
ranah ilmu dan pemikiran, namun juga dalam ranah ijtihad politik, sosial
dan ekonomi. Bahwa ada alternatif lain selain demokrasi, memerlukan
ijtihad yang serius dan berkesinambungan.
Kerja-kerja intelektual tersebut tentu membawa kita pada permasalahan
serius. Dapatkah para ulama dan intelektual Muslim bersatu dan duduk
pada satu meja, mengesampingkan sekat-sekat yang selama ini ada, untuk
merekonstruksi ajaran dan umat Islam?
Kita hidup di era di mana kita berharap para ulama bukan lagi sekedar
“ahli fatwa”, melainkan menjadi arsitek-arsitek utama dalam
rekonstruksi peradaban Islam.
Pada hakikatnya, Islam Liberal hadir memanfaatkan kekosongan visi
peradaban pada umat Islam. Oleh karena itu, hanya jika kita dapat
menampilkan kembali Islam sebagai sebuah peradaban, gagasan kaum liberal
yang membajak Islam akan segera usang dan kehilangan tempat dalam
takdir sejarah umat.
Apa yang telah dilakukan lembaga seperti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
dan lembaga-lembaga sejenis layak diapresiasi. Karena melawan paham
liberal tidak cukup mengerahkan massa di jalanan. Sebab pemikiran tidak
bisa habis hanya karena didemo.
Menulis, membuat karya ilmiah, mengadakan training dan
kursus, memperkuat kurikulum pendidikan sekolah-sekolah Islam atau
pesantren agar steril dari hermeneutika dan sejenisnya justru akan
melahirkan pemuda, mahasiswa, sarjana yang secara otomatis menolak paham
menyesatkan itu dan semakin bangga dengan peradaban Islam, yang tidak
merasa minder dengan Barat. Wallahu A'lam Bishawab.*
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Balikpapan
repost
http://www.hidayatullah.com/read/21658/13/03/2012/%E2%80%9Cindonesia-tanpa-jil%E2%80%9D,-what-next?.html
0 komentar:
Post a Comment