25 June, 2014

Filsafat

Oleh: Akmal Sjafril
Beberapa mahasiswa di sebuah perguruan tinggi tengah ‘dimabuk filsafat’. Setelah mengikuti pelatihan selama beberapa hari, mereka pulang dengan membawa berbagai pertanyaan filosofis. Dalam pandangan mereka, segalanya harus dibedah dengan filsafat. Sebab jika tidak, maka hajat sang akal takkan terpuaskan. Akan tetapi, filsafat itu sendiri yang justru membuat orang tetap ‘haus’, dahaga tak pernah terpuaskan. Semua ini mereka dapatkan setelah beberapa hari saja menjalani indoktrinasi, sedangkan mereka sendiri barangkali tak pernah menyadari telah didoktrin habis-habisan.
Ada di antara mereka yang dengan lantangnya mengulang kata-kata serupa seperti yang dikatakan oleh Wardah Hafidz sebagaimana yang tercantum dalam transkrip wawancaranya di situs Jaringan Islam Liberal (JIL). Kala itu, Wardah dengan berani mengatakan bahwa ia tidak lagi menjalankan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh umat Muslim lainnya, sebab cara itu ‘kurang pas’ untuk dirinya. Wardah berkeyakinan bahwa Allah SWT pastilah tidak otoriter, dan karenanya, ia memilih cara shalat yang ‘tidak konvensional’, tidak ritualistik dan tidak ‘mekanis’. Hampir senada dengan Wardah, mahasiswa-mahasiswa malang jaman sekarang pun mempertanyakan tujuan shalat. Kalau sampai yang ditanya menjawab, “Kita shalat karena diperintahkan oleh Allah,” maka mereka akan langsung menimpali, “Kalau begitu, Allah otoriter dong!?”
Stalin membantai sekian banyak rakyatnya sendiri hanya karena mengkritiknya, secara terbuka maupun tidak. Mao Zhedong tidak lebih baik dari Stalin, karena ia melibas siapa pun yang menolak kepemimpinan Partai Komunis di Republik Rakyat Cina (RRC). Hitler dan Mussolini berpikiran fasis dan merasa berhak menindas siapa pun yang tidak satu ras dengannya. Itulah para pemimpin yang disebut otoriter. Tapi ada pula mahasiswa yang ‘menghadiahi’ predikat “otoriter” kepada Allah SWT, sebab Dia mewajibkan shalat yang hanya lima waktu dalam sehari itu!
Kalau orang sudah asyik berfilsafat, macam-macam saja pemikirannya. Setelah membaca buku Karen Armstrong (itu pun tidak sampai khatam), langsung saja mereka bertanya, “Pak Dosen, tolong ceritakan kepada kami bagaimana sejarah Tuhan yang sesungguhnya!” Jika pertanyaan ini masih kurang nyeleneh, simaklah pertanyaan temannya yang lain: “Siapa yang duluan, manusia atau Tuhan?” Kalau sabar menunggu, mungkin akan muncul pula temannya yang lain menyoraki, “Tuhan itu diciptakan oleh akal manusia, dan Dia hanya ada di dalam benak kita semua, bro!”
Agaknya masih banyak orang yang tak mampu memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan ‘standar’ kaum ateis: “Jika Tuhan memang ada, panggil Dia ke sini!” Karena tak sanggup menjawab, maka dengan sangat terpaksa harus tunduk pada kaum ateis. Tapi untuk ‘mencampakkan’ Tuhan sepenuhnya pun tidak gampang. Maka, dikatakanlah bahwa Tuhan itu memang ada, tapi hanya di benak masing-masing. Itu pun hanya bagi yang percaya. Bagi yang tidak percaya, tentu saja tak ada Tuhan.
Para pembenci Tuhan sejak dulu memiliki tempat khusus dalam peradaban Barat, setelah Barat memutuskan untuk bersama-sama meninggalkan agama dan menjadi sekuler. Sigmund Freud, misalnya, menganggap agama tidak lebih dari sekedar gejala neurotik. Artinya, agama itu diciptakan oleh manusia karena kebutuhan akalnya sendiri. Freud, meski teorinya kini telah banyak ditinggalkan orang, tetap saja disanjung-sanjung sebagai tokoh psikologi dunia. Aneh, betapa orang Barat mempercayakan urusan jiwa mereka di tangan seseorang yang punya pemahaman sangat konyol tentang agama. Padahal, reputasi Freud pun sebenarnya tidak bagus-bagus amat. Di masa lalu, tokoh yang satu ini pun pernah mengajukan teori bahwa anak bayi memperoleh kenikmatan seksual dengan mengisap puting susu ibunya dan benda apa pun sebagai penggantinya, misalnya jempol mereka sendiri. Cendekiawan Muslim asal Sudan yang merupakan pelopor cabang ilmu Psikologi Islam, Prof. Malik Badri, menyebut pemikiran-pemikiran Freud sebagai ‘armchair thinking’; pemikiran yang muncul hanya dari observasi kasar yang kemudian diolah dengan otak dan spekulasi sendiri, tanpa pernah bersentuhan dengan realita. Teori Freud tentang ‘kenikmatan seksual yang dinikmati seorang bayi’, tentu saja, begitu jauh dari realita, sama jauhnya dengan pendapatnya tentang agama. Anehnya, pemikiran Freud sampai detik ini masih saja dilestarikan oleh segelintir orang.
Semua mata tertuju pada Karl Marx, karena ia dengan ganasnya memberangus agama dengan kata-kata “Religion is the opium for the people” (agama adalah candu bagi manusia). Tapi janganlah lupa bahwa di negeri ini pernah hidup seorang Harun Nasution yang begitu percaya diri menolak Rukun Iman keenam, yaitu Iman kepada Qadha’ dan Qadar, dengan alasan bahwa keimanan kepada Qadha’ dan Qadar ini membuat umat Muslim menjadi lemah karena cenderung pasrah pada keadaan. Berlainan sedikit dengan Marx yang menganggap bahwa agama telah melenakan manusia, Harun Nasution beranggapan bahwa Iman kepada Qadha’ dan Qadar telah melenakan manusia. Mungkin Harun lupa bahwa dalam khazanah pemikiran Islam pernah terjadi perdebatan antara kaum qadariyyah dan jabbariyyah; secara sederhana, kelompok yang pertama beranggapan bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan Allah, dan karenanya, mereka tak perlu berusaha, sedangkan kelompok yang kedua justru menafikan hal tersebut, sehingga mereka menisbatkan segala kejadian sebagai hasil usahanya sendiri. Dalam pandangan alim ulama, kedua kelompok ini sama-sama dianggap ekstrem. Keimanan yang benar terhadap Qadha’ dan Qadar tidak semestinya membuat manusia menjadi pasif dan malas berusaha. Sebaliknya, naluri untuk berusaha maksimal dan bekerja keras tak perlu membuat seorang Muslim sampai melupakan adanya ‘campur tangan’ Allah SWT dalam segala sesuatunya. Sebagaimana kita mengenal konsep ikhtiar, kita pun sangat memahami konseptawakkal.
Apa dinyana, Harun Nasution justru memiliki pengaruh yang luar biasa besar hingga saat ini di kampus-kampus UIN/IAIN di seluruh Indonesia. Bukunya menjadi bacaan wajib bagi seluruh mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi tersebut, dan namanya masih disanjung-sanjung sebagai pembaharu (mujaddid) hingga kini.
Yang sudah ‘berkarat’ dalam filsafat akhirnya terjun bebas ke kedalaman filsafat Friedrich Nietzsche yang seratus persen ateis dan anti-teis. Nietzsche-lah yang dengan vulgarnya bersorak, “God is dead!” Pada akhirnya, Nietzsche-lah yang menemui kematian, sedangkan umat manusia hingga detik ini masih terus percaya pada keberadaan Tuhan, meski tentu saja ada pula yang masih mengikuti Nietzsche. Akan tetapi, yakinlah, mereka yang mengikuti Nietzsche pun kelak akan mati. Soal kematian ini, tak ada filsafat yang bisa membantahnya.

Yunani Kuno
Banyak orang belajar filsafat dari Barat, dan konon Barat mengambil akar filsafatnya dari pemikiran para filsuf Yunani kuno. Para mahasiswa Muslim di tanah air yang sedang asyik berfilsafat pun akrab dengan nama-nama Plato, Aristoteles, Socrates dan seterusnya. Dalam pikiran mereka, akal kaum filsuf Yunani kuno ini sedemikian hebatnya sehingga produk pemikiran mereka masih bisa digunakan hingga hari ini; kontras dengan pemikiran para ulama – yang lahir jauh lebih belakangan daripada jaman Yunani kuno – yang (menurut mereka) sudah banyak yang tidak up-to-date, bahkan kedaluwarsa.
Sayangnya, pengetahuan mereka tentang Yunani kuno begitu mentah. Nyaris tak ada satu pun di antara mereka yang serius belajar tentang peradaban Yunani kuno, bagaimana corak pemikirannya, dan apa sebab mereka memilih jalan berpikir yang demikian. Amat disayangkan, sebagian besar orang mengenal Yunani justru dari film-film Hollywood.
Untuk mengenal Yunani kuno, kita tidak mungkin mengabaikan begitu saja kisah-kisah mitologinya. Orang Yunani menggunakan mitologi bukan hanya untuk mengajarkan seperangkat nilai, melainkan juga untuk menjelaskan kepercayaan agamanya sendiri.
Hesiod, misalnya, menulis sebuah buku yang diberinya judul Theogony, yang artinya adalah “Kelahiran Dewa-dewi”. Buku ini bukan sekedar karya sastra biasa, sebab ia dipercaya menceritakan asal-usul para dewa dengan sesungguhnya. Dalam buku itu pun, Hesiod mengaku telah diberitahu oleh para Muse, yaitu anak-anak perempuan Zeus yang senantiasa hadir untuk memberi inspirasi kepada para penyair seperti Hesiod. Karena Theogony ini ditulis dengan ajaran langsung dari para Muse, maka ia dianggap valid.
Singkat cerita, sejak awal masa telah hadir suatu entitas kedewaan bernama Chasm, disusul kemudian oleh Gaia, Tartaros, dan Eros. Chasm kemudian melahirkan beberapa orang anak, sedangkan Gaia kemudian melahirkan Ouranos, yang kemudian menjadi pasangannya sendiri. Jadi, sebelum berpasangan dengan Ouranos, Gaia berkembang biak secara aseksual.
Belakangan, setelah melahirkan banyak anak, kebencian kepada Ouranos tumbuh dalam jiwa Gaia. Pasalnya, setiap kali Gaia melahirkan seorang anak, Ouranos langsung menutup rahimnya sehingga anak-anak berikutnya tidak jadi dilahirkan. Ouranos merasa senang melakukan hal yang demikian, maka Gaia pun mewariskan kebenciannya pada anak-anaknya sendiri. Gaia pun kemudian menggelar ‘tender’ kepada anak-anaknya untuk mencelakai ayah mereka sendiri. Salah seorang anaknya, Kronos, kemudian menyanggupi. Dengan suatu muslihat, Kronos berhasil memotong kelamin Ouranos dan menghentikan kezalimannya untuk selamanya.
Berikutnya, giliran Kronos yang berkeluarga bersama Rheia, dan melahirkan beberapa dewa Yunani yang sudah sangat dikenal, antara lain Hades dan Zeus. Akan tetapi setelah itu, Kronos mulai bertingkah seperti ayahnya dahulu. Karena ia khawatir kelak akan ada salah seorang anaknya mencelakai dirinya seperti ia dahulu mencelakai Ouranos, maka Kronos pun mulai memakan anak-anaknya sendiri yang baru saja lahir dari rahim Rheia. Maka, Rheia pun bersekongkol dengan Gaia – ibu mertuanya sendiri – dengan suatu cara sehingga ia bisa menipu Kronos. Rheia melahirkan Zeus di Krete, kemudian Gaia membesarkannya. Sementara itu, Rheia membungkus sebongkah batu dan menyerahkannya pada Kronos. Kronos, yang menyangka batu itu adalah anaknya, segera menelannya bulat-bulat.
Pada akhirnya, Zeus menggulingkan Kronos seperti Kronos dahulu menggulingkan Ouranos. Hanya saja, Zeus akhirnya berhasil mendapatkan kekuatan yang mahadahsyat yang tak tertandingi oleh siapa pun, sehingga ia pun menjadi dewa terkuat dalam kepercayaan Yunani kuno.

Tujuan
            Mengapa mitologi Yunani kuno – dalam hal ini adalah kisah dalam buku Theogony – perlu diulas agak panjang lebar di sini? Hal itu dilakukan tidak lain untuk memberikan gambaran mengenai tujuan bangsa Yunani kuno berfilsafat.
Kita dapat membayangkan, betapa kacau-balaunya kepercayaan masyarakat Yunani kuno pada masa itu. Masih ada ratusan nama dewa-dewi lainnya yang belum disebutkan di atas, dan masing-masing berpolitik; adakalanya mereka bekerja sama, adakalanya pula bersekongkol untuk saling menumbangkan. Nilai moral menjadi sangat tidak jelas, sebab dewa-dewinya pun tidak berpegang teguh pada moralitas yang luhur. Mengenai ‘moralitas para dewa’ ini, kita pun dapat bercermin pada kisah The Odyssey karya Homer, yang menggambarkan tipu muslihat para dewa, dan – anehnya – tipu muslihat itu pun bisa dikalahkan oleh kecerdikan akal manusia.
Dalam kondisi pemikiran yang carut-marut seperti itulah filsafat Barat dilahirkan. Mereka terpaksa mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk memahami kebenaran, sebab tidak ada wahyu yang membimbing, atau lebih tepatnya, mereka telah kehilangan bimbingan wahyu tersebut. Itulah sebabnya salah seorang filsuf Yunani pernah berujar dengan nada lirih, “Tuhan telah menciptakan, namun kemudian ia pergi dan diam saja.” Itulah masyarakat Yunani kuno, yang telah kehilangan arah dan berjuang sendiri-sendiri untuk menemukan kebenaran.
Bagi mereka, tentu saja kebenaran harus dicari dengan logika, dan kadang-kadang apa yang dianggap benar oleh suatu generasi akan diralat oleh generasi berikutnya. Semestinya, umat Muslim yang dibimbing oleh wahyu (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw) tidak mengalami kebingungan yang sama sebagaimana yang dialami oleh Barat.
Untuk menghadapi ‘tantangan’ filsafat dari Barat, tampillah tokoh-tokoh seperti Imam al-Ghazali. Tentu saja, al-Ghazali tidaklah ma’shum, sebab ia bukan seorang Nabi. Akan tetapi, di balik segala kekurangannya, kita akan menjumpai semangat yang membara dalam melawan serangan pemikiran dari Barat.
Filsafat al-Ghazali tidaklah sama dengan filsafat Barat. Sebab, tujuan mereka berfilsafat pun sangat berlawanan. Jika orang-orang Barat berfilsafat karena mereka tidak dibimbing wahyu, maka para filsuf Muslim justru berfilsafat untuk menjelaskan kebenaran wahyu. Maka, jika kita mengikuti orang Barat yang berfilsafat, tidaklah mengherankan jika cara berpikir kita semakin jauh dari agama.
Pada akhirnya, mudah saja membedakan mana yang serius berfilsafat untuk mencari kebenaran dengan yang tidak. Tengoklah perangainya! Jika ibadahnya semakin kuat, maka bisa dipastikan bahwa ia sangat serius memikirkan Tuhan. Tapi jika lisannya terus mengucap nama Tuhan, hobinya berdebat soal Tuhan dan sibuk mempertanyakan Tuhan, namun akhlaqdan ibadahnya tidak ada perubahan, maka bisa dipastikan bahwa ia berfilsafat sekedar untuk melakukan ‘kenakalan intelektual’ yang sangat tidak terhormat.
Sumber : http://www.al-intima.com/ghazwul-fikri/filsafat

0 komentar:

Post a Comment

 

PKS TV Sudan