Perang Uhud adalah perang yang kaum muslimin mengalami kekalahan. Yang menarik adalah situasi sebelum terjadinya perperangan. Kita semua tahu kalau perang uhud merupakan ajang balas dendam kaum musyrikin.
Pada saat mendapat khabar berperang dari kaum musyrikin, sebenarnya Rasulullah menginginkan bertahan saja di Madinah. Namun bukanlah seorang leader bila keputusan yang diambil bukan keputusan dengan musyawarah. Pada saat disampaikan kepada sahabat lainnya ternyata mereka lebih memilih menyerang keluar dari kota Madinah. Memang semangat para sahabat luar biasa untuk berperang karena kebanyakan mereka adalah anak muda yang bukan alumni Badar. Mereka ingin merasakan pertempuran perang Badr. Dikarenakan banyak yang menginginkan keluar berperang akhirnya Rasulullah SAW menyutujui untuk keluar kota Madinah untuk bertempur. Keputusan sudah diambil akhirnya terjadilah pertempuran.
Kita semua tahu bagaimana kesudahannya. Kaum Muslimin mengalami kekalahan. Kalah menang dalam sebuah pertempuran adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah bagaimana sikap Rasulullah menghadapi situasi yang terjadi. Rasulullah saat itu tidak mengungkit-ungkit bagaimana pendapatnya yang tidak disetujui oleh para sahabat. Bahasa pasarnya sering kita dengar bila pendapatnya tidak diikuti dengan ungkapan “apa gue bilang mestinya bertahan saja coba kalau tidak maju berperang nggak bakalan seperti ini jadinya”. Ini kalimat yang keluar bagi orang-orang yang melempar kesalahan pada orang lain. Ini kalimat yang biasa keluar dari mulut-mulut orang munafik.
Rasulullah SAW sebagai orang yang dididik dengan kejujuran dan disiapkan Allah SWT sebagai seorang Leader bagi makhluk di bumi ini pantang bersikap seperti cuci tangan begitu. Dia tunjukkan ke-leader-annya dengan memberi support dan motivasi kepada sahabat agar tetap bertahan dan berjuang.
Kisah ini memberikan pelajaran dan hikmah kepada kita dalam hidup ini. Sikap yang tidak pantas dilakukan dengan mengatakan bahwa “makanya apa saya bilang, mestinya begini......begitu......., coba kalau mengikuti apa kata saya kan tidak akan seperti ini jadinya.................” sering kita dengar bagi sebagian orang yang kurang mengerti kejiwaan manusia. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa punya ilmu kejiwaan tapi tidak mampu menghiasinya dalam perilaku sehari-harinya. Seolah-olah ilmu psikologi itu hanya buat orang lain tidak untuk dirinya.
Mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu akan membuat seseorang akan merasa “Guilty Feeling”. Selalu merasa bersalah. Puaskah kita pada saat orang yang kita tuding-tuding berbuat kesalahan tersebut akhirnya merasa bersalah sehingga dengan kepala tertunduk meminta maaf dan bahkan tidak kuat menatap wajah kita. Inilah yang harus dijadikan pelajaran.
Sebagai sarana muhasabah mungkin kita perlu menjawab peertanyaan ini didalam hati. “Sudah berapa kali-kah kita membuat bawahan kita di kantor merasa “Guilty Feeling” di saat hasil pekerjaannya kurang memuaskan. Seberapa sering kah kita melontarkan kalimat kepada anak kita “Makanya belajar yang rajin”. “Coba kamu ikuti apa kata Bapak/Ibu, tentu kamu tidak mendapatkan nilai yang jelek itu. “Coba kamu pilih jurusan yang Bapak/Ibu bilang tentu kamu ........., seolah – olah apa yang dikatakannya benar dan benar terjadi.
Puaskah kita membuat bawahan atau anak-anak kita atau teman-teman merasa bersalah dengan apa yang kita lakukan? Kalau ya jawabannya berarti Anda termasuk orang yang sakit jiwa.
Wallahua'lam
Halley - Psikolog
Sumber : http://www.pkspiyungan.org/2014/06/perang-uhud-guilty-feeling.html
Pada saat mendapat khabar berperang dari kaum musyrikin, sebenarnya Rasulullah menginginkan bertahan saja di Madinah. Namun bukanlah seorang leader bila keputusan yang diambil bukan keputusan dengan musyawarah. Pada saat disampaikan kepada sahabat lainnya ternyata mereka lebih memilih menyerang keluar dari kota Madinah. Memang semangat para sahabat luar biasa untuk berperang karena kebanyakan mereka adalah anak muda yang bukan alumni Badar. Mereka ingin merasakan pertempuran perang Badr. Dikarenakan banyak yang menginginkan keluar berperang akhirnya Rasulullah SAW menyutujui untuk keluar kota Madinah untuk bertempur. Keputusan sudah diambil akhirnya terjadilah pertempuran.
Kita semua tahu bagaimana kesudahannya. Kaum Muslimin mengalami kekalahan. Kalah menang dalam sebuah pertempuran adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah bagaimana sikap Rasulullah menghadapi situasi yang terjadi. Rasulullah saat itu tidak mengungkit-ungkit bagaimana pendapatnya yang tidak disetujui oleh para sahabat. Bahasa pasarnya sering kita dengar bila pendapatnya tidak diikuti dengan ungkapan “apa gue bilang mestinya bertahan saja coba kalau tidak maju berperang nggak bakalan seperti ini jadinya”. Ini kalimat yang keluar bagi orang-orang yang melempar kesalahan pada orang lain. Ini kalimat yang biasa keluar dari mulut-mulut orang munafik.
Rasulullah SAW sebagai orang yang dididik dengan kejujuran dan disiapkan Allah SWT sebagai seorang Leader bagi makhluk di bumi ini pantang bersikap seperti cuci tangan begitu. Dia tunjukkan ke-leader-annya dengan memberi support dan motivasi kepada sahabat agar tetap bertahan dan berjuang.
Kisah ini memberikan pelajaran dan hikmah kepada kita dalam hidup ini. Sikap yang tidak pantas dilakukan dengan mengatakan bahwa “makanya apa saya bilang, mestinya begini......begitu......., coba kalau mengikuti apa kata saya kan tidak akan seperti ini jadinya.................” sering kita dengar bagi sebagian orang yang kurang mengerti kejiwaan manusia. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa punya ilmu kejiwaan tapi tidak mampu menghiasinya dalam perilaku sehari-harinya. Seolah-olah ilmu psikologi itu hanya buat orang lain tidak untuk dirinya.
Mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu akan membuat seseorang akan merasa “Guilty Feeling”. Selalu merasa bersalah. Puaskah kita pada saat orang yang kita tuding-tuding berbuat kesalahan tersebut akhirnya merasa bersalah sehingga dengan kepala tertunduk meminta maaf dan bahkan tidak kuat menatap wajah kita. Inilah yang harus dijadikan pelajaran.
Sebagai sarana muhasabah mungkin kita perlu menjawab peertanyaan ini didalam hati. “Sudah berapa kali-kah kita membuat bawahan kita di kantor merasa “Guilty Feeling” di saat hasil pekerjaannya kurang memuaskan. Seberapa sering kah kita melontarkan kalimat kepada anak kita “Makanya belajar yang rajin”. “Coba kamu ikuti apa kata Bapak/Ibu, tentu kamu tidak mendapatkan nilai yang jelek itu. “Coba kamu pilih jurusan yang Bapak/Ibu bilang tentu kamu ........., seolah – olah apa yang dikatakannya benar dan benar terjadi.
Puaskah kita membuat bawahan atau anak-anak kita atau teman-teman merasa bersalah dengan apa yang kita lakukan? Kalau ya jawabannya berarti Anda termasuk orang yang sakit jiwa.
Wallahua'lam
Halley - Psikolog
Sumber : http://www.pkspiyungan.org/2014/06/perang-uhud-guilty-feeling.html
0 komentar:
Post a Comment