Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat
dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ushul iman
(pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan
ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat,
harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ
إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (QS. Al-Taubah: 24)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di dalam Tafsirnya Taisir
al-Karim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Mannan berkata, “Dan ayat yang
mulia ini adalah dalil paling agung menunjukkan wajibnya mencintai Allah
dan Rasul-Nya, mendahulukannya atas kecintaan segala sesuatu. Juga
menunjukkan ancaman keras dan kebencian sangat atas orang yang lebih
mencintai salah satu dari yang telah disebutkan daripada Allah,
Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya.”
Kemudian Syaikh Sa’di menyebutkan tanda-tandanya, “Adalah apabila
hadir padanya dua perkara yang bertentangan. Salah satunya dicintai
Allah dan Rasul-Nya dan tidak disukai oleh jiwanya. Sementara yang lain
disukai dan diinginkan oleh jiwanya. Tapi ia mengesampingkan apa yang
dicintai Allah dan Rasul-Nya. Atau ia menguranginya. Maka jika ia
mengutamakan apa yang disuka oleh nafsunya atas apa yang Allah cintai,
hal itu menunjukkan bahwa ia berlaku zalim dan meninggalkan apa
diwajibkan atasnya.”
Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai
utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati
kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik
dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka
bukan seorang mukmin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih
ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna
imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih
utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia.
Karena melalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kita terselamatkan dari
neraka dan diselamatkan dari kesesatan.
Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan
beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan
membantunya. Maka Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka
bukan seorang mukmin.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menempatkan posisi
cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan kesempurnaan imannya
hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak,
kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang
sangat dicintai manusia.
Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun klaim tersebut tidak akan
bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti sunnahnya),
taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena berittiba’ kepada
beliau merupakan tuntutan dari keyakinan bahwa beliau adalah utusan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau dijadikan sebagai suri teladan yang
harus ditiru, dicontoh, dan diikuti dalam perjalann untuk ke surga.
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِر
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab:
21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar mengambil setiap yang
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan
meningalkan apa yang beliau larang.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Hal tersebut karena beliau tidak berbicara tanpa bimbingan wahyu dan
menuruti hawan nafsu, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya),” QS. Al-Najm: 3-4)
Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan
membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau
perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah
kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Jujurnya orang yang beriman kepada Allah, mengharapkan kecintaan dan
ridha-Nya serta dimasukkan ke surga-Nya adalah dengan mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam semua keadaannya, dalam
semua perkataan dan perbuatannya, pada persoalan pokok agama dan
cabang-cabangnya, dalam batin dan dzahirnya. Maka siapa yang mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu menunjukkan benarnya
pengakuan cinta kepada Allah Ta’ala.
Al Qadli ‘Iyadh rahimahullah, berkata: “Di antara bentuk cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya,
membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . ”
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan
bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah
Ta’ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. Namun,
perilakunya banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber :
http://www.voa-islam.com/islamia/aqidah/2012/02/03/17608/beginilah-cara-mencintai-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam/
0 komentar:
Post a Comment