Seorang personil elemen tarbiyah daerah, sempat membacakan SMS yang
dikirimkan oleh seorang ibu. Begini kira-kira bunyinya, “Tolong bapak
cek, bagaimana keadaan ruhiyah bapak-bapak lewat pengajiannya. Karena
saya merasa, suami saya sudah kehilangan sholat malam, tilawah Al
Qur’an, sholat dhuha dan ma’tsurat. Yang tersisa hanya yang wajib saja!”
….
Seorang istri, bagaimanapun, adalah teman setia suami. Ia ibarat
teman seiring sejalan yang harus siap mendampingi dalam kondisi suka dan
duka, dalam keadaan suami sedang stabil atau labil. Termasuk siap pula
menghadapi kondisi keimanan dan kekuatan ruhiyah yang naik dan turun.
Memang, Dr. Yusuf Qorodhowi dalam salah satu tulisannya memuji kita,
para wanita. “Menurut pengalaman saya dalam dakwah, dari
pertanyaan-pertanyaan para wanita, baik tertulis atau lisan atau melalui
telepon; wanita itu lebih berhati lembut, lebih taat beragama dan
tunduk terhadap laki-laki.”
Itu sebabnya, seorang ummahat, sempat bercerita. “Setiap kali ada
seorang akhwat yang hendak menikah dan minta nasehat, yang sering saya
ungkap adalah, jangan kaget dengan kondisi ruhiyah suami. Barangkali ia
sulit dibangunkan untuk shalat malam, tilawahnya tak melampaui target
satu juz sehari atau hal-hal lain yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Inilah lahan baru dakwah anti.”
Sekali lagi, ini hanyalah kasus, tak semuanya mesti begini. Saya
yakin banyak di antara ikhwah yang ibadah kesehariannya jauh melampaui
target. Tapi, bila ternyata yang kita hadapi hampir mirip dengan ini,
jangan menyerah! Pengalaman seorang ibu mungkin bisa kita jadikan
masukan. Setiap kali suaminya menonton TV usai pulang kerja, ia duduk di
sampingnya, seraya tilawah Al Qur’an. Atau pengalaman yang lain,
tentang seorang bapak yang gemar menonton bola. Sang ibu dengan setia
mendampinginya, tidak ikut mensuporteri tim kesayangan suami, tapi ia
menggelar sajadah dan melakukan shalat malam di dekat TV sang bapak.
Mereka memilih untuk melakukan aksi nyata daripada memperbanyak
percakapan.
Banyak sebab mengapa seorang bapak, tak setekun ibu melakukan amal
ruhiyah. Mungkin ia terlalu banyak melakukan aktivitas: pagi mencari
nafkah, malam untuk kepentingan dakwah. Belum lagi kalau atas
kesadarannya membantu istrinya menangani pekerjaan rumah tangga. Ia
merasa lelah. Atau memang tak ada asupan yang mengingatkannya bahwa
kedekatannya dengan Allah dibantu oleh kualitas sekaligus kuantitasnya
melakukan ibadah.
Bagaimanapun, menjadi istri dan sekaligus ibu, adalah pekerjaan
yang sambung menyambung. Tak ada berhentinya, baik fisik maupun psikis.
Tentu saja ia memerlukan ruhaniyah yang kuat, karena tanpa itu, kita
hanya akan dapat capek, lelah, jenuh dan bosan. Jadi, bila suami yang
kita hadapi kebetulan sedang mengalami kefuturan ruhiyah, jangan
sekali-kali tertular meski kemungkinan itu terbuka lebar. Kebangkitan
ruhiyah kita, insyaallah, akan menimbulkan kondisi yang menentramkan
dalam rumah tangga kita. Sesuatu yang sangat kita idam-idamkan.
Ibu yang lain pernah menyampaikan permasalahannya. Suaminya sama
sekali tak mau menerima amplop seusai ia mengisi dauroh, khutbah Jum’at
atau kajian internal yang sering diisinya dari masjid ke masjid atau
kampus ke kampus. “Kapan saya berinfaq kalau saya menerima amplop itu.
Biarlah itu menjadi infaq dakwah saya,” begitu alasan sang suami.
Menurut istrinya, mereka sendiri dalam kondisi kekurangan, “Sudah lebih
dari sebulan anak-anak tak minum susu, tak makan ikan apalagi daging.
Kami benar-benar mengetatkan ikat pinggang.” Tetapi begitulah, itu
pilihan hidup yang mereka jalani, dan Allah selalu tahu kepada siapa
barokahNya diletakkanNya. Tanpa kekuatan ruhiyah sang istri, rumah
tangga mereka akan berjalan dengan timpang, karena pilihan hidup sang
suami mendapat penentangan dari istrinya.
Memang komunikasi suami istri dalam masalah ini adalah sesuatu yang
harus dan wajib diusahakan dan dibuat seefektif mungkin. Tetapi, tanpa
back up ruhiyah, kondisi ini akan membuat kita manja, kehilangan
orientasi dan menuntut ganti rugi dari kesibukan suami.
Para ibunda yang dicintai Allah, di luar kita banyak sekali tantangan
serta ancaman yang akan menggerogoti keistiqomahan kita, baik secara
halus maupun terang-terangan. Baik melalui sindiran, ajakan atau paksaan
agar kita condong menjauhi pilihan dakwah yang sudah kita azzamkan dari
awal. Mestilah kita sadari bekalan kita tak mungkin selamanya terisi
penuh. Adakalanya ia menetes pelan tanpa kita sadari bahwa gentong kita
sudah harus diisi.
Oleh karenanya, berkhalwat dan menyambung hubungan yang kuat dengan
Allah adalah sesuatu yang paling utama dalam mengawal langkah-langkah
kecil kita menapaki jalan dakwah. Semoga kekuatan ruhiyah itu senantiasa
menyertai langkah kita, amiin…
Sumber : http://www.pkspiyungan.org/2012/02/ruhaniyah-seorang-istri.html
0 komentar:
Post a Comment