“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS. At-Taubah, 9: 122)
Ibnu Katsir rahimahullah meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Bahwa ketika turun ayat ‘Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih’ (QS At Taubah, 9: 39), orang-orang munafik berkomentar, ‘Sungguh binasa orang-orang kampung yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad’. Hal ini ditujukan kepada beberapa orang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang tetap tinggal di kampung halamannya mengajari kaumnya tentang
urusan agama, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat 122 dari surat
At Taubah di atas.” (Tafsir Ibnu Katsir III/65).
Versi riwayat lain menyebutkan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Di saat Allah mengancam dengan keras orang-orang yang tidak
berangkat untuk berperang, mereka kemudian bertekad sambil berkata,
“Tidak akan ada seorang pun dari kami yang akan tinggal dan tidak ikut
berangkat dalam suatu misi militer selama-lamanya”. Dan mereka
benar-benar membuktikan ucapannya sehingga semuanya berangkat dan
membiarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tinggal sendirian, maka turunlah ayat tersebut (At Tafsir Al Munir, DR Wahbah Az Zuhaili XI/77).
Kandungan Lafazh Tafaqquh Fiddin
Akar kata yang terdiri dari fa-qa-ha menunjukkan arti mengetahui dan memahami sesuatu. Seorang yang alim dan cerdas disebut faqih. Pada mulanya istilah tafaqquh fiddin adalah
untuk pekerjaan mengerti, memahami, dan mendalami seluk-beluk ajaran
agama Islam. Namun pada periode berikutnya, istilah fiqih digunakan
untuk ilmu-ilmu syariat sebagai lawan dari ilmu tauhid yang berkaitan
dengan aqidah.
Dalam Al-Qur’an, istilah tafaqquh fiddin disebut hanya sekali. Arti dari liyatafaqqahu fiddin ialah “agar mereka memahami tentang agama”. Kata ad-din dalam
rangkaian istilah tersebut berarti “agama” dalam arti yang luas, bukan
“agama’ dalam arti sempit, seperti mempelajari seluk-beluk wudu dan
masalah-masalah shalat, atau hanya menyangkut masalah fiqih. Agama yang
oleh ungkapan tersebut didorong untuk didalami dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
pada saat beliau berada di tempat/Madinah karena tidak berangkat
memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diterima Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
pada periode Mekah selama 13 tahun, dan juga masalah-masalah agama yang
mungkin dapat disampaikan Nabi pada saat para sahabat yang berminat
melakukan tafaqquh fiddin.[1]
Dalam kajian Ibnu ‘Asyur, lafazah ‘tafaqquh’ (dalam kalimat: liyatafaqqahuu fiddiin) mengikuti wazan tafa’ul yang menyiratkan makna takalluf
(bersungguh-sungguh dan mengerahkan semua potensi) guna memperoleh
pemahaman yang benar dalam urusan agama. Sebab, memahami agama secara
baik dan benar bukan sesuatu yang dapat diraih dengan mudah, melainkan
ia memerlukan usaha yang keras, biaya yang tidak murah dan waktu yang
lama (Lihat: Tafsir Ibnu ‘Asyur X/229).
Tafaqquh Fiddin, Penting!
Ayat ini merupakan bayan dari Allah Ta’ala tentang pentingnya ‘tafaqquh fiddin’ sebagai upaya untuk memahami agama; menegaskan urgensi mencari ilmu dan ‘tazawwud bil fahmi wal ilmi wa ats-tsaqafah’ (berbekal ilmu, pemahaman dan pengetahuan) tentang agama yang hanif, agama yang fithrah dan agama yang menjadi ‘manhajjatan baidho’ (pedoman hidup yang putih dan bersih).[2]
Yang menarik, menurut Ustadz Ahmad Kusyairi Suhail, bahwa ayat tafaqquh fiddin ini berada di tengah-tengah pembahasan tentang jihad bil qital (perang) yang menjadi tema sentral dari surat At-Taubah. Sebelum ayat tersebut, Allah Ta’ala
menyinggung tentang perang Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H dan
suasana yang menyelimuti kaum muslimin pada saat perang maupun pasca
perang, lalu pada ayat sesudahnya (QS At Taubah: 123), kembali Allah Ta’ala menyinggung
masalah perang. Hal ini, lanjut Ustadz Suhail, memberikan pemahaman
kepada kita, bahwa seorang mukmin tidak boleh terlalu asyik masyuk
dengan satu bentuk ibadah, lalu melupakan ibadah yang lain. Melainkan,
ia harus senantiasa tawazun (seimbang) dan syamil (menyeluruh dan utuh), dan tidak terperangkap dengan hal yang juz’i (parsial). Karenanya, semangat mencari ilmu harus selalu dikobarkan dan tidak boleh padam dalam suasana segenting apa pun.
Ustadz Suhail menegaskan, “Jika di tengah kobaran semangat jihad yang menyala-nyala, Allah SWT mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin
dan tidak boleh dilalaikan, apatah lagi dalam berbagai aktivitas
lainnya, tentu lebih tidak diperbolehkan lagi untuk meninggalkan mencari
ilmu. Kesibukan kita dalam jihad siyasi (politik) tidak boleh melunturkan semangat tafaqquh fiddin. Kesibukan kaum ibu dalam jihad ‘aili
(berjuang dalam mengurus rumah tangga) tidak boleh dijadikan alasan
untuk tidak memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Kesibukan
mencari nafkah juga tidak boleh membuat seorang mukmin tidak pernah
mengalokasikan waktu guna mencari ilmu. Walhasil, tafaqquh fiddin tidak dibatasi oleh usia, waktu, tempat, situasi dan kondisi.” [3]
Setiap muslim dan khususnya para
aktivis dakwah hendaknya menyadari bahwa salah satu kunci sukses
generasi terbaik binaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradaban dunia dan
mendatangkan banyak kemenangan, kemajuan dan kejayaan di semua aspek
kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memenej rumah tangga mereka,
adalah berawal dari semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin.
Mencari Ilmu adalah kewajiban bagi
setiap muslim dan muslimah. Ia merupakan kegiatan sepanjang hidup
manusia dari kecil sampai dewasa. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu,
sampai-sampai lafazh ‘ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Al Qur’an sekitar 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh ‘shalat’, ‘zakat’ dan lainnya.
Ilmu itu kehidupan dan cahaya, sementara al-jahl
(kebodohan) itu kematian dan kegelapan. Adalah hal yang aksiomatis,
bahwa semua keburukan itu penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan
cahaya, sedang semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan.
Perhatikan firman Allah Ta’ala:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?” (QS Al An’aam, 6: 122).
Oleh karena itu, setiap muslim
hendaknya menyediakan waktu untuk menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu
syar’i untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai ‘al-marji’iyyah al-‘ulyaa’ (referensi utama) bagi setiap muslim; dan sebagai ‘al-mi’yar al-asasi’ (standar utama) untuk melihat ilmu-ilmu yang lainnya dan mengarahkan serta melandasinya.
Ustadz Abdussalam Masykur menyebutkan bahwa selain menyebutkan tentang pentingnya menuntut ilmu ayat tersebut di atas juga menunjukkan pentingnya proses ‘ta’lim muta’allim’ (belajar mengajar) dan pentingnya tujuan atau target dan sasaran, karena selain ber-‘tafaqquh fiddin’ juga harus ada ‘wa liyundziruu qaumahum’ (memberi peringatan kepada kaumnya), kemudian ‘la’allahum yahdzarun’ (agar mereka menjaga dirinya). Ini sebuah proses yang teratur dan luar biasa. Ini adalah manhaj rabbani dalam mencari ilmu dan memahami agama.
Ilmu dan Tegaknya Keimanan
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq, 96: 1 – 5)
Sejak awal kemunculannya di jazirah Arab, ajaran Islam yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumandangkan penghargaannya yang tinggi terhadap qalam
(alat tulis). Islam memancangkan ajaran pertama yang dijadikan dasar
pokok dalam membina manusia adalah dengan baca tulis dan menuntut ilmu.
Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa
watak ajaran Islam mewajibkan pemeluknya menjadi ummat yang terpelajar,
dimana jumlah orang yang berpendidikan semakin meningkat, sedangkan
jumlah orang yang tidak berpendidikan terus berkurang dan akhirnya
lenyap. Hal itu menurutnya disebabkan oleh kenyataan, bahwa hakekat
ajaran Islam, baik dasar-dasar pokok maupun cabang-cabangnya, bukanlah
upacara-upacara kebaktian pusaka nenek moyang dan bukan pula
mantera-mantera yang disebarluaskan atas dasar angan-angan dan khayal.
Dasar-dasar ajaran Islam diambil dari kitab suci yang penuh hikmah dan
dari sunnah Rasul Allah yang penuh dengan tuntunan. Di dalamnya
terkandung pengertian-pengertian intelektual, metode-metode yang tinggi
dan tata kehidupan yang luhur.
Di samping itu, tafakkur alam
semesta sebagaimana banyak diketengahkan dalam Al-Qur’an, dipandang oleh
Islam sebagai dasar pokok untuk menegakkan iman yang mantap dan kokoh.
Tidak hanya itu saja, di dalam ajaran
Islam terdapat juga seruan kepada segenap ummat manusia supaya mengikuti
kebenaran dan terus menerus mencarinya walaupun rumit dan tersembunyi.
Islam menolak hipotesa-hipotesa berdasarkan pemikiran yang mengambang,
dan melarang pemeluknya terjerumus mengikutinya. Islam meletakkan sistim
pengawasan yang ketat terhadap pendengaran, penglihatan, dan hati. Itu
saja sudah cukup untuk mewujudkan suatu masyarakat yang jauh dari
ketakhayulan dan angan-angan kosong, bukan masyarakat yang tenggelam di
dalam kepercayaan kepada jimat-jimat, dongeng-dongeng kosong dan segala
macam kebatilan, atau masyarakat yang dikuasai oleh tradisi dan adat
istiadat tidak karuan yang sama sekali bukan berasal dari ajaran Ilahi.
Agama Islam tidak akan memperoleh
tempat yang mantap kecuali di kalangan manusia yang berilmu pengetahuan
matang dan manusia berakal cerdas. Bila Anda memperhatikan masalah
shalat, tentu Anda akan menemukan kenyataan bahwa baik shalatnya itu
sendiri maupun adzan sebelumnya, dua-duanya merupakan amal perbuatan
yang rasional. Adzan adalah kalimat-kalimat yang mengetuk pikiran serta
membangkitkan hati dan perasaan, yaitu mengagungkan Allah (takbir),
pernyataan kesaksian atas keesaan Allah (tauhid), dan ajakan untuk
meraih keberuntungan. Dalam Islam aba-aba dimulainya shalat bukan dengan
membunyikan lonceng yang dentangan suaranya memenuhi angkasa dan hanya
mengetuk perasaan tanpa kata-kata yang jelas. Dalam shalat dibaca
ayat-ayat yang diambil dari kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran
kebajikan dan petunjuk-petunjuk yang dapat dicerna oleh akal pikiran.
Muhammad Al-Ghazali menegaskan, memang
benar bahwa kemantapan seseorang dalam menghayati agama Islam banyak
tergantung pada tingkat kecerdasan pikirannya, kebersihan hatinya dan
kelurusan fitrahnya. Tidak mungkin orang pandir atau orang yang tidak
sehat jiwanya akan mudah begitu saja memeluk Islam.[4]
Menyegarkan Kembali Semangat Tafaqquh Fiddin
Mari kita segarkan kembali semangat tafaqquh fiddin. Mulai dari diri sendiri! Mari kita tanamkan kebiasaan, sikap dan nilai yang baik berkaitan dengan thalabul ilmi.
Menuntut Ilmu
Tidak ada manusia yang lahir dalam
keadaan pintar, mahir, dan ahli. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak
mengetahui suatu apa pun. Hal ini dijelaskan Allah SWT dengan
firman-Nya,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl, 16: 78).
Manusia akan menjadi berilmu manakala
mampu memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan hatinya dengan baik. Ia
harus mencari ilmu dan terus mencari. Sadarilah, ilmu tidak akan pernah
datang menghampiri.
Marilah kita teladani para salafu shalih. Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu pergi ke Syam menempuh perjalanan selama satu bulan hanya untuk mendengarkan satu hadits saja dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut ialah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
manusia itu nanti akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan tidak
memakai alas kaki, tidak memakai pakaian dan tidak dikhitan”.[5]
Sedangkan Abu Ayyub Al-Anshori pergi
dari Madinah ke Mesir menemui ‘Uqbah bin Amir hanya untuk mendengarkan
satu hadits saja yaitu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa menutup aib saudara muslimnya di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat”.[6]
Abul ‘Aliyah berkata: “Kalau
kami mendengar sebuah hadits itu datang dari seorang sahabat, maka kami
tidak puas kecuali kami pergi menemui sahabat yang memiliki hadits
tersebut”.[7]
Membiasakan Menghafal
Kita tidak akan mampu membawa ilmu
kalau ilmu tersebut hanya ada dalam catatan. Maka membiasakan menghafal
adalah satu sikap yang harus dipegang teguh.
Abu Zur’ah berkata, “Adalah Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”. Berkata Sulaiman bin Syu’bah: “Sesungguhnya
murid-murid Abu Dawud menyalin hadits dari Abu Dawud sebanyak 40.000
hadits. Sedangkan Abu Dawud tidak memiliki buku”. Sementara itu Abu Zur’ah Arrazi berkata: “Aku hafal 200.000 hadits seperti bagaimana orang lain menghafal surat Al-Ikhlash”. [8]
Membiasakan Menulis
Karena membuat karya tulis akan
memperkuat kapasitas keilmuan. Inilah budaya yang harus dikembangkan di
tengah-tengah ummat, khususnya di kalangan aktivis dakwah.
Ibnul ‘Arabi menulis dalam bidang
tafsir sebanyak 80 juz (di luar karyanya yang lain dalam bidang Ushul,
Hadits, dan juga Tarikh). Ibnu Abi Dunya menulis 1.000 karya tulis. Imam
Hakim menulis lebih dari 1.000 macam. Ibnu Asakir menulis dalam bidang
Tarikh sebanyak 80 jilid. [9]
Menjaga semangat Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu dan mengembangkannya
memerlukan semangat yang besar. Semangat musiman tidak akan mungkin
dapat diandalkan untuk membangun kapasitas ilmu.
Ibnul ‘Aqil Al-Hambali berkata: “Sesungguhnya semangatku untuk menuntut ilmu di usiaku yang 80 tahun sama dengan semangatku ketika usiaku baru 20 tahun”.
Semangat itu sangat diperlukan sebagai
modal awal menuntut ilmu. Suatu hari Ibnu Jarir Atthabari menawarkan
kepada murid-murid dan teman-temannya: “Maukah kalian belajat tafsir?” Mereka menjawab: “Berapa banyaknya?” Atthabari menjawab: “30.000 lembar”. Murid-muridnya itu pun berkata: “Sungguh itu adalah jumlah yang sangat banyak yang mungkin usia kita akan habis sementara ia belum selesai.” Maka
diringkaslah oleh Atthabari menjadi 3.000 lembar. Kemudian ketika
mereka ditanya tentang apakah mereka mau belajar sejarah manusia
semenjak masa Adam hingga masanya, mereka pun menjawab dengan hal yang
sama. Mendengar hal itu berkatalah Atthabari: “Sungguh telah mati semangat dan kemauan kalian!” Kemudian ia meringkas sejarah itu menjadi sekitar 3.000 lembar pula.
Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimanakah semangat Anda menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Saya
mendengarkan huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah
saya temukan selama ini. Karena itu saya kerahkan seluruh anggota tubuh
saya untuk menyimaknya.”
Beliau ditanya lagi, “Bagaimana minat Anda terhadap ilmu?” Imam Syafi’i menjawab, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan dan berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”
“Lalu bagaimana Anda mencarinya?” lanjut si penanya, “Saya
mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya
yang di dunia ini ia tidak memiliki apa pun selain dia.” Jawab Imam Syafi’i.[10]
Ibnu Mas’ud berkata, “Ketahuilah
bahwa tidak ada satupun diantara kalian yang dilahirkan dalam keadaan
berilmu. Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan jalan belajar. Maka
jadikanlah dirimu sebagai orang yang ahli ilmu, atau orang yang
menuntutnya, atau orang yangmendengarkannya. Belajarlah kalian, karena
sesungguhnya kalian tidak tahu kapan ilmu kalian itu akan dibutuhkan”. [11]
Merenung, Berbuat, dan Berfikir dalam Ilmu
Aktivitas peningkatan dan pencarian
ilmu perlu dilakukan setiap saat. Sehingga kita hendaknya merenung dalam
ilmu, berbuat dalam ilmu, dan berfikir dalam ilmu.
Ibnu ‘Aqil Al-Hambali berkata, “Sesungguhnya
tidak benar bagiku jika menyia-nyiakan waktu walau sesaat dari usiaku.
Kalaupun lisanku berhenti dari menghafal, atau mataku berhenti dari
membaca, maka aku menyibukkan fikiranku pada saat istirahatku itu hingga
ketika aku bangun pasti telah kumiliki dalam diriku apa yang akan aku
tulis kemudian”.
Imam Bukhari apabila terjaga dari
tidurnya, maka ia menyalakan lenteranya kemudian menulis apa-apa yang
terbetik dalam dirinya dari berbagai ilmu. Kemudian ia tidur dan begitu
seterusnya sampai kadang-kadang dalam satu malam ia melakukan hal itu
sebanyak 20 kali.
Imam Juwaini berkata, “Biasanya aku
tidak pernah tidur dan makan. Tetapi aku tidur karena tertidur dan
makan karena aku memang membutuhkannya. Sehingga aku tidur dan makan
kapan saja. Karena kenikmatanku ada pada menuntut ilmu.”
Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat
Generasi terdahulu telah memberikan
teladan yang baik. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa selama manusia
masih bisa mencari ilmu, maka ia harus terus melakukannya.
Muhammad bin Ishaq telah mengambil ilmu
dari 1700 orang guru. Ia pergi menuntut ilmu dalam usia 20 tahun dan
pulang dalam usia 40 tahun. Sedangkan Imam Bukhari mengambil ilmu lebih
dari 1000 orang Syaikh.
Ada sebuah kisah mengharukan tentang
semangat menuntut ilmu. Menjelang wafatnya Ibnu Jarir Atthabari
mendengar do’a yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad. Ia kemudia
meminta orang yang ada di sekitarnya untuk mengambilkan pena dan kertas.
Orang-orang pun berkata kepadanya, “Kondisimu sudah seperti ini, tidak usahlah melakukannya.” Atthabari kemudian menjawab, “Tidak semestinya seseorang meninggalkan datangnya ilmu meskipun sampai mati”. Beberapa saat kemudian beliau pun wafat.
Menjadi bangsa yang besar dengan Ilmu
Hari ini kita mungkin dalam keadaan
terhina dan terpuruk. Tetapi jangan pesimis, karena tidak lama lagi kita
akan segera bangkit dan memimpin dunia, menjadi ustadziyatul alam (guru dunia).
Di kedua tangan kita ada Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber petunjuk yang memberkahi ilmu yang kita miliki.
Tugas kita saat ini adalah belajar dan terus belajar.
Al-Hasan bin Ali berkata, “Belajarlah
kalian, tuntutlah ilmu, sesungguhnya jika kini kalian adalah
orang-orang yang kecil dan tidak diperhitungkan manusia, maka kelak
kalian akan menjadi orang-orang besar yang diperlukan manusia.” [12]
Tanamkanlah semangat di dalam dadamu
wahai muslimin! Mari kita rem nafsu menghambur-hamburkan waktu dengan
hal-hal yang tidak perlu. Sungguh, fajar kemenangan bukanlah impian,
jika kita mau belajar, menuntut ilmu, dan ber-tafaqquh fiddin….
sumber : http://al-intima.com/harakatuna/menyegarkan-kembali-semangat-tafaqquh-fiddin
Maraji’
Pentingnya Tafaqquh fiddin, Abdussalam Masykur
Semangat Tafaqquh Fiddin, H. Ahmad Kusyairi Suhail, MA.
Al-Qur’an Wa Tafsiruhu Jilid IV, Kementrian Agama RI
Akhlak Seorang Muslim, Muhammad Al-Ghazali
Waqfah Tarbawiyah, Edisi 07, Volume I, 1996
0 komentar:
Post a Comment