“Syarat utama menjadi Gurunya Manusia adalah dia tidak pernah
berhenti belajar. Ini karena belajar adalah kata kunci untuk tiga hal
penting bagi profesi guru, yaitu paradigma, cara dan komitmen” (Munif
Chatib dalam buku “Gurunya Manusia”, Kaifa, Jakarta, 2011, halaman 64).
Pada tulisan terdahulu
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/02/andai-anak-bisa-memilih-orang-tua/),
saya telah menyampaikan bahwa sekolah akan menjadi berkualitas apabila
memiliki guru yang terus menerus meningkatkan kualitasnya dengan program
pendidikan dan pelatihan. Demikian pula di rumah, apabila orang tua
sebagai pendidik utama selalu meningkatkan kualitas dirinya, maka akan
menjadi baik pula kualitas rumah tersebut. Namun persoalan yang muncul
adalah, siapa yang akan menjalankan upaya pendidikan dan pelatihan bagi
orang tua dalam kehidupan rumah tangga?
Belajar Menjadi Orang Tua
Karena anak-anak tidak bisa memilih orang tua yang melahirkan dan
mendidiknya, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang tua untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas diri. Ayah harus meningkatkan
kemampuannya agar bisa menjadi ayah yang baik dan tangguh dalam mendidik
serta membersamai tumbuh kembang anak. Ibu harus selalu meningkat
kapasitas dan potensinya agar bisa menjadi ibu yang baik dan tangguh
dalam membina serta mengarahkan anak-anak.
Peningkatan kualitas dan kapasitas sebagai orang tua ini harus
diwujudkan dalam berbagai program bagi ayah dan bagi ibu, serta bagi
calon ayah dan calon ibu, agar mampu menjadi orang tua yang tangguh
dalam mendidik anak-anak. Tidak seperti sekolah, dimana ada banyak
pendidikan formal yang menawarkan kurikulum dan jenis studi untuk para
guru, dari strata S-1 hingga S-3, dalam konteks orang tua tidak
ditemukan kurikulum dan jenis studi yang ditawarkan oleh lembaga
pendidikan formal.
Bagaimana menjadi ayah yang tangguh, bagaimana menjadi ibu yang
tangguh, bagaimana menjadi orang tua yang kompak dan tangguh dalam
mendidik anak, tidak tersedia jenjang pendidikan formal di negeri ini.
Saat ini tersedia berbagai jenis pelatihan yang ditawarkan banyak
kalangan, ini cukup membantu para ayah dan para ibu dalam meningkatkan
kapasitas dan potensinya. Namun persoalannya, tidak ada lembaga yang
bisa “memaksa” orang tua untuk mengikuti pelatihan semacam itu.
Kalau di sekolah, para guru bisa “dipaksa” oleh sistem yang
diberlakukan, agar mereka mau mengikuti berbagai pelatihan. Manajemen
sekolah bisa memberikan sanksi kepada guru yang tidak mau mengikuti
kegiatan pelatihan dan pendidikan lanjut. Sekolah juga bisa memberikan
reward kepada para guru yang aktif mengikuti kegiatan pelatihan dan
pendidikan. Dengan adanya sanksi dan reward bagi guru, memungkinkan para
guru termotivasi melakukan upaya peningkatan kapasitas diri dengan
mengikuti berbagai program pelatihan dan pendidikan.
Sedangkan di rumah, tidak ada “sistem” yang bisa memaksa ayah atau
ibu untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Tidak ada reward atau sanksi
bagi orang tua tatkala aktif mengikuti kegiatan pelatihan ataupun
menolak untuk mengikuti pelatihan. Maka keputusan untuk mengikuti
pelatihan atau pendidikan ini sifatnya sangat pribadi dan sangat
personal. Kesadaran setiap ayah dan setiap ibu akan pentingnya
pendidikan bagi peningkatan kapasitas “keayahan” dan “keibuan” menjadi
penentu bagi mereka untuk mengikuti program pelatihan.
Reward dan Punishment
Sesungguhnya ada reward dan punishment bagi orang tua, namun sifatnya
tidak langsung dan cenderung abstrak. Kalau para guru mengikuti
pendidikan atau pelatihan, reward yang didapatkan bisa berupa kenaikan
pangkat, gaji dan posisi. Jika malas bahkan menolak mengikuti pendidikan
dan pelatihan, para guru bisa mendapatkan punishment berupa peringatan,
teguran, tidak mendapatkan kenaikan pangkat, gaji dan posisi; sampai ke
tingkat pemindahtugasan ke bagian lain. Dalam konteks ini, reward dan
punishment tampak nyata.
Dalam kehidupan rumah tangga, reward yang didapatkan ayah dan ibu
yang rajin mengikuti pendidikan dan pelatihan adalah berupa meningkatnya
kapasitas dan potensi keayahan serta keibuan, yang berdampak kepada
terdidiknya anak-anak dengan baik. Dengan pola pendidikan di rumah yang
baik, anak-anak akan semakin merasakan kedekatan dengan orang tua,
sehingga bisa menampakkan cinta dan kasih sayang yang semakin kuat di
antara mereka. Anak-anak akan menjadi semakin baik, salih, santun,
rajin, pintar, dan berbagai sifat positif lainnya. Itu semua karena
orang tua mampu mendidik anak dengan pendekatan yang tepat.
Demikian pula punishment, sesungguhnya justru lebih nyata. Ketika
anak-anak memberontak, menjadi nakal, liar, tidak terkendali, maka
kerugian kembali kepada kedua orang tua, selain kepada anak yang
bersangkutan. Anak-anak yang tidak terdidik dengan baik, akan cenderung
menjadi anak-anak yang berperilaku negatif kepada orang tua. Hal ini
salah satunya disebabkan karena kelemahan orang tua dalam mendidik
anak-anak dengan pendekatan yang tepat. Orang tua tidak mengetahui
bagaimana cara mendidik anak yang baik, bagaimana cara membersamai
perkembangan jiwa anak, bagaimana mengoptimalkan potensi anak, dan cara
menyelesaikan persoalan usia remaja.
“Penyadaran Diri”
Hendaknya semua orang tua menyediakan keluangan hati dan kesediaan
waktu untuk rajin membaca buku-buku tentang pendidikan, psikologi
perkembangan anak, dan tema-tema lain yang sangat bermanfaat bagi
peningkatan kemampuan sebagai orang tua. Hendaknya semua orang tua rajin
mengupayakan up-grade bagi peningkatan kapasitas dirinya terutama dalam
skill kerumahtanggaan dan pendidikan anak. Karena tidak ada lembaga
yang akan memaksa orang tua untuk melakukan semua upaya perbaikan ini.
Anak-anak kita yang masih kecil tidak akan meminta dan memaksa orang
tuanya untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan.
Dengan “penyadaran diri” sendiri, orang tua harus memacu untuk terus
selalu belajar dan tidak merasa puas terhadap apa yang telah dilakukan
selama ini. Jangan merasa sudah sempurna, namun juga jangan merasa
berputus asa karena merasa tidak sempurna. Esensinya, yang diperlukan
adalah upaya melejitkan potensi diri agar bisa menjadi orang tua yang
mampu mendidik dan menghantarkan anak-anak menuju potensi yang unggul,
dan akan mengubah peradaban dunia.
Tidak akan ada yang memaksa kita untuk belajar, kecuali diri kita
sendiri. Tidak ada yang akan mendorong kita untuk belajar, kecuali kita
sendiri. Tidak ada yang akan menghukum, kecuali kita sendiri. Maka kita
mulai dari penyadaran diri sendiri. Mulai dari pemaksaan diri sendiri.
Mulai dari pendisiplinan diri sendiri. Mulai dari menguatkan dorongan
diri sendiri.
Jika bersungguh-sungguh, kita pasti bisa. Selamat pagi, selamat beraktivitas.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/04/penyadaran-diri-menjadi-orang-tua-yang-berarti/
0 komentar:
Post a Comment